Oleh Ramlie Hasim
Pada jaman purbakala manusia belum kenal dengan tulisan- tulisan, justru itulah segala peristiwa atau kejadian tak dapat dituliskan, hanya merupakan ingatan-ingatan belaka. Menyampai- kan berita pada waktu itu hanya dari mulut ke mulut saja, lain halnya dengan dewasa ini.
Pakaian pun hanya untuk menutupi kemaluan saja dan kain pada waktu itu belum ada, malah pada waktu itu mereka tak mengenal kain. Kain mereka hanya daun-daunan dan kulit kayu sa- ja, daun-daun pisang di antaranya dirobek-robek, kemudian ditu- tupkan pada tubuh bagian bawah untuk perempuan, sedangkan untuk kaum lelaki kulit-kulit kayu di antaranya kayu jomok/ara, dipukul rata-rata, direndam dalam air, dan sesudah getah dan len- dirnya hilang, dijemur kering, kemudian dijadikan cawat untuk menutupi tubuh bagian bawah sebagai celana. Rasa malu tidak ada pada waktu itu, karena semua pakaian mereka di jaman itu adalah sama.
Mengenai alat-alat penghubung mereka, biasanya dipergunakan telotok/tongtong dari bambu kalau jaraknya dekat dan dari gong kalau jauh, dengan diatur suaranya sebagai tanda dalam ke- susahan atau berdukacita, dan dalam beramai-ramai, dan sebagai- nya. Kemudian kalau mereka mengadakan musyawarah pada ma- lam hari, dipergunakan api unggun. Selain itu untuk penerangan, mereka mengumpulkan damar yang dicari di dalam hutan, kemu- dian ditumbuk halus, sesudah itu dibungkus dengan daun pisang atau daun tarap, kemudian ditimbun dijadikan lampu damar (ketepot).
Mengenai perumahan tujuannya hanya cukup untuk menahan hujan saja, malah ada yang berumah di dalam gua dan karena ada pula yang takut diserang binatang-binatang buas, maka mereka buatlah rumah bertiang tinggi yang disebut lamin. Dalam lamin itu tinggal beberapa kepala keluarga, gunanya untuk memperta- hankan diri dari serangan-serangan binatang buas dan lain-lain.
Pada lamin itu ditunjuk seorang kepala adat untuk memimpin beberapa keluarga yang mendiami lamin itu.
Jadi kegotongroyongan pada waktu itu sudah ada, hanya tingkat ilmu pengetahuan belum ada, sebab alat tulis-menulis belum dikenal mereka. Sebagai alat penghubung atau komuni- kasi dari satu tempat ke tempat lain, dipergunakan rakit yang dijalin secara sederhana dan tanggar (penanjak) dari tebu salah sebagai dayung. Untuk menyeberang Sungai Mahakam saja di- perlukan waktu berbulan-bulan dan bekal beras berpaso-paso atau tiga perempat belek (kaleng).
Sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan sangat rukun dan rahayu sekali, yang diatur oleh kepala adatnya masing-masing. Terutama di waktu membuat huma (ladang), bercocok tanam (mengasak), dan menuai padi (mengetam), dan sebagainya, semua itu dilaksanakan secara bergiliran, dan dipimpin oleh kepala adatnya masing-masing.
Baca juga : Kerja Bakti
Jadi bila pada suatu tempat di sepanjang Sungai Mahakam, diadakan upacara adat menanam padi (mengasak), pada waktu itu berduyun-duyunlah mereka datang, baik laki-laki maupun perempuan. Di situ diadakan upacara adat (bejamok) bersimbur air dan bercoreng-corengan arang untuk memberangkatkan raja dan ratu padi berlayar dengan menggunakan mantra-mantra. Tujuannya ialah, supaya kalau nanti kembali, maka raja dan ratu serta hulubalang padi yang diberangkatkan tadi membawa ke- menangan dan membawa hasil yang banyak untuk kepentingan mereka bersama. Kalau sudah selesai menuai, lalu diadakan kera- maian melas tahun, misalnya belian, gantar, berhempas, menya- bung ayam, dan lain sebagainya. Pada tepat waktu tengah hari, me- reka pulang bersama-sama untuk menyantap makanan yang te- lali dihidangkan. Setelah makan bersama mereka istirahat se- bentar, untuk melepaskan lelah kemudian pergi lagi untuk menye- lesaikan pekerjaan adat itu.
Menurut tradisi atau kebiasaan, harus ada bagian (tekap) bubur, meskipun pekerjaan selesai pada waktu pagi itu. Setelah selesai mengasak (menugal) di waktu sore, mereka berduyun-duyun pulang untuk menyantap hidangan bubur nasi yang diberi gula benda (enau).
Pada waktu itu mereka belum mengenal sudu (sendok). Sendok mereka adalah daun pisang atau daun kelapa yang dipotong- potong. Salah seorang dari yang banyak itu ingin cepat habis
makan bubur atau istilahnya ingin berlomba banyak makan; maka sendok yang telah disediakan itu tidak dipakainya. Bubur yang baru diangkat dari kuali dan masih panas, disosopnya (di- hirupnya) sekaligus. Maka bubur yang masuk dalam perutnya me- ngamuk dengan hebatnya, dan ia merasa dadanya kepanasan. Ke- mudian dipeluknya batang pisang, batang pisang layu, dibawanya terjun ke air, terus menyelam lama sekali. Kiranya takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dia mempunyai kekuasaan yang tak terhingga, ada kalanya manusia dijadikannya batu. Begitu pula halnya dengan manusia yang kepanasan makan bubur tadi, sekali timbul dari menyelam jadilah ia seekor Pesut yang menyemburkan air di mulutnya karena kepanasan.
Sumber : Dewan Redaksi Penerbitan Kutai, Balai Pustaka