Oleh Kak Novianita Mulyani
Hutan Bora-Bora. Di sana, tumbuh pohon-pohon besar. Pohon mangga bersebelahan dengan pohon jati. Pohon rambutan bersebelahan dengan pohon beringin dan pohon kenari. Pohon-pohon ini menjadi tempat tinggal berbagai jenis binatang.
Burung-burung bergerombol ramai bercuitan di daun-daun beringin lebat. Tupai membuat sarang di lubang pohon kenari. Sementara kelinci membuat liang di antara akar-akar pohon jati. Monyet bergelayutan di ranting-ranting pohon rambutan. Dan kucing tidur siang di ranting pohon jambu. Mereka semua hidup rukun.
Hutan itu dibatasi sungai yang luas. Di seberangnya, ada pulau besar. Pulau Titan namanya. Di sana, juga tinggal hewan-hewan. Namun, hewan-hewan di sana hidup berdampingan dengan manusia. Mereka membantu tugas manusia.
Tidak mudah perjalanan ke Pulau Titan. Penduduk hutan Bora-Bora harus menyeberangi sungai luas yang dihuni buaya-buaya bergigi tajam. Biasanya, penghuni hutan Bora-bora akan menyewa perahu pada Pak kura-kura agar dapat menyeberang ke Pulau Titan. Atau mereka yang tidak berani menyeberangi sungai, bisa menulis surat atau menitipkan barang kepada Pak Merpati. Ya, keluarga Pak Merpati adalah pengantar surat yang andal.
Pak Merpati dan Bu Merpati punya tiga orang anak laki-laki. Si Sulung, Si Tengah, dan Si Bungsu. Mereka sudah dilatih terbang sejak kecil agar bisa membantu tugas kedua orangtuanya, kecuali Si Bungsu.
Si Sulung dan Tengah sangat rajin latihan terbang. Hanya dalam waktu tiga bulan mereka sudah mahir terbang. Si Sulung dan Si Tengah kerap dipercaya untuk membantu mengantarkan surat ke Pulau Titan.
Sayang sekali, adik mereka, Si Bungsu, sangat pemalas. Setiap kali diajak kakak-kakaknya latihan terbang, Si Bungsu menolak. Ia lebih suka makan keripik kentang sambil nonton TV. Akibatnya, tubuhnya semakin gendut dan sayapnya lemah.
Saat matahari bersinar di ufuk timur, keluarga merpati bersiap-siap terbang mengantarkan surat. Bu Merpati terbang ke Pulau Titan ke rumah sakit khusus hewan. Ia hendak mengambil obat demam pesanan ibu Kiki Kijang.
Pak Merpati masih sibuk memilah-milah surat-surat yang ada di dalam kotak kemudian menyusunnya berdasarkan alamat tujuan. Yang paling jauh diletakkan paling depan agar dapat diantar lebih dulu.
Si Sulung dan Si Tengah sibuk mengemas sekotak besar apel. Apel-apel ini hasil panen Paman Jaja Jerapah, dan akan diantarkan untuk adik paman Jaja Jerapah, bibi Gia Jerapah namanya. Bibi Gia Jerapah punya restoran pai apel di Pulau Titan.
Di mana Bungsu? Coba tengok kamar tidurnya. Oh… itu dia! Masih tertidur lelap dalam selimut abu-abu kesayangan!
“Bungsu, … Ibu berangkat dulu ya,” kata ibu seraya mencium kening Si Bungsu.
“Ehmm,” Si Bungsu menggeliat. Dan tidur lagi.
Ayah mengemasi tas kain cokelat miliknya lalu menghampiri Si Bungsu yang masih tidur. “Ayah juga berangkat ya.” Ayah mengecup kening Bungsu.
“Ehmm…” lagi-lagi Si Bungsu hanya menjawab singkat sambil menggeliat malas.
“Kami juga berangkat ya. Hati-hati jaga rumah!” teriak Si Sulung dan Si Tengah.
Klik. Si Sulung mengunci pintu. Tinggallah Si Bungsu sendirian di rumah.
Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela, menyinari wajah Si Bungsu. Dengan enggan Si Bungsu bangun. Lalu menuju meja makan. Perutnya lapar sekali.
Di meja, sudah tersedia segelas susu cokelat dan setangkup roti selai kacang. Ibu sudah menyediakannya sebelum berangkat tadi.
Baru saja Si Bungsu hendak minum susu, terdengar pintu diketuk.
Tok… tok… tok…!
“Siapa sih itu, mengganggu saja,” gerutu Si Bungsu. Dengan enggan, Si Bungsu meletakkan kembali gelas susunya, dan beranjak ke ruang tamu, membukakan pintu.
Ternyata Pak Gajah.
“Selamat siang, Nak. Bapak ada?”
“Ayah sudah pergi dari tadi pagi. Katanya ada surat yang harus buru-buru diantar.”
“Oh… sayang sekali. Padahal aku ingin mengirim surat ini untuk anakku Rea di Pulau Titan. Anak laki- lakiku itu bekerja mengangkut kayu di sana,” jelas Pak Gajah.
“Kalau begitu, besok saja bapak kembali lagi.”
“Tak bisa, Nak. Surat ini sangat penting. Aku ingin memberitahu Rea agar ia cepat pulang. Neneknya sakit. Bisakah kamu menolongku mengantar surat ini?”
“Aku? Ng… tapi aku belum pernah mengantar surat.”
“Kamu mungkin belum pernah mengantar surat, tapi kamu bisa mencobanya. Aku percaya kamu bisa. Alamatnya tertera jelas di sini, Nak. Kamu tak akan tersesat.”
“Ng… tapi aku…”
“Tolonglah, surat ini sangat penting.” “Aakuu… ingin menolong, tapi …”
“Nak, Aku percaya kamu bisa melakukannya.” “Hmm, baiklah. Aku coba.”
Pak Gajah melilitkan belalainya di tengkuk Si Bungsu. Mata Pak Gajah berkaca-kaca, “Terima kasih, Nak. Terima kasih.” Ucap Pak Gajah berulang kali.
“Baiklah kalau begitu, aku permisi dulu. Sekali lagi kuucapkan terima kasih.” kata Pak Gajah berpamitan. “Nanti, akan kusampaikan pada ayahmu kalau kau sudah sangat membantuku mengantarkan suratku ini,” janji Pak Gajah.
Bungsu tersenyum.
Baca juga : buku cerita
Setelah Pak Gajah pergi, tinggallah Si Bungsu termangu bingung. Ia sangat ingin menolong Pak Gajah. Sementara di sisi lain, ia tak yakin bisa mengantar surat itu. Dalam hati, si Bungsu menyesal mengapa ia tak pernah menurut nasihat orangtuanya untuk latihan terbang bersama kakak- kakaknya.
“Ah, sudahlah. Tak baik menyesali keadaan. Aku akan coba mengantarkan surat ini. Sepertinya mengepak-kepakkan sayap itu mudah,” ujar Si Bungsu.
Setelah menghabiskan sarapannya, Si Bungsu bersiap-siap.
“Apa saja yang perlu dibawa?” Si Bungsu mencoba mengingat-ingat perlengkapan yang biasa dibawa ayah dan kakak-kakaknya.
“Ayah biasanya membawa tas selempang dan memakai helm. Hm… Di mana ya? Ah iya! Aku ingat!
Dulu ibu pernah menghadiahiku tas selempang dengan helmnya, tapi tak pernah kugunakan.”
Si Bungsu buru-buru memeriksa lemari pakaiannya. Di sana, di rak terbawah, tertimpa baju-baju bola kesayangannya, Si Bungsu menemukan tas selempang warna cokelat, masih tersimpan rapi.
“Hmm… Di mana helmnya ya?”
Si Bungsu memandangi kamarnya.
“Oiya! Aku ingat. Ada di kolong tempat tidur!” Si Bungsu melongok ke kolong tempat tidur. Benar! Helm itu ada di sana.
Si Bungsu merunduk mengambil helm.
“Astaga! Kotor sekali!” Si Bungsu kaget. Ia mendapati helm cokelatnya sudah penuh debu.
Lekas Si Bungsu mengambil kain lap kemudian mengelap helm dengan hati-hati.
Setelah itu, ia menyelempangkan tas cokelatnya. Dan mengenakan helm di kepala mungilnya.
“Ternyata aku gagah juga, hehe…” kata Si Bungsu sambil berkacak pinggang di depan cermin mematut- matut diri.
Si Bungsu lalu ke dapur. Mengambil biskuit keju dan tak lupa sebungkus keripik kentang kesukaannya. Juga sebotol air dingin, “Sepertinya bekalku sudah cukup.”
Si Bungsu kembali ke ruang tamu. Mengambil surat milik Pak Gajah, menyimpannya dengan baik di dalam tas selempang. Ia mengambil secarik kertas menuliskan pesan untuk ayah, ibu dan kedua kakaknya:
Bungsu pergi ke rumah Rea anak Pak Gajah. Mengantarkan surat. Penting.
Surat itu ia letakkan di meja makan, ditindih gelas merah kesayangannya, agar surat itu tidak terbang tertiup angin.
“Semua siap. Saatnya terbang!” ujar Si Bungsu. Jantungnya berdegup kencang. Ini perjalanan pertamanya. Juga penerbangan pertamanya.
Setelah mengunci pintu dan memastikan semua aman, Si Bungsu mengambil ancang-ancang untuk terbang.
“Aku sering melihat kakak-kakakku latihan. Tampaknya mudah. Rentangkan sayap…” Si Bungsu merentangkan kedua sayapnya. “Tekuk kedua kaki, dan…”
“Hopla!” si bungsu melompat. Siutt, brakk…! “Aduh…!” Si Bungsu menukik jatuh ke semak-semak bunga krisan putih. Untunglah, bunga krisan tidak berduri. Jadi, sayapnya tidak terluka.
“Terbang ternyata tak semudah kelihatannya,” keluh Si Bungsu.
“Coba lagi!” Bungsu lari kembali merentangkan kedua sayapnya dan menekuk lututnya. “Hupla…!”
Siutt… Brakk…! Lagi-lagi Si Bungsu menukik jatuh.
“Aduh!” si Bungsu mengerang kesakitan. Namun, ia tak patah semangat. Si Bungsu terus mencoba dan berulangkali pula ia jatuh.
“Hfff… Andai aku tekun berlatih terbang pasti tak begini kejadiannya,” keluh Si Bungsu menggaruk- garuk kepalanya.
Setelah sepuluh kali jatuh, dan ia hampir menyerah, ia berkata, “Ini lompatanku yang terakhir. Kalau masih gagal juga aku menyerah saja. Menunggu sampai Kakak atau Ayah atau Ibu pulang.”
Si Bungsu menarik napas. Membusungkan dadanya. Merentangkan sayapnya lebar-lebar. Menekuk lututnya. Dan…
Hupla! Si Bungsu melompat sekuat tenaga.
“Hore, berhasil!” pekik Si Bungsu.
baca juga : Cerita Anak
Si Bungsu mengepak-kepakkan sayapnya kencang- kencang. Ketika ia merasa hendak jatuh, ia semakin kuat mengepakkan sayapnya. Lengannya terasa sakit, tapi ia tak mau menyerah. Lama kelamaan Si Bungsu bisa terbang lebih imbang, tak lagi naik turun.
Dari atas awan, Si Bungsu melihat keindahan alam hutan Bora-Bora. Pohon-pohon rindang dengan daun-daunnya yang hijau tampak seperti selimut tebal berwarna hijau.
“Indah sekali!” Si Bungsu berdecak kagum. Saking asyiknya menikmati pemandangan, Bungsu tak menyadari ada pohon-pohon berdaun lebat di depannya.
Brak…! “Auw…!”
Bungsu jatuh lagi. Sayapnya luka tertusuk ranting- ranting pohon. Hu… Hu… Hu… Bungsu menangis sedih.
Jangan menangis, Bungsu! Ayo, terbang lagi. Bukankah kamu ingin surat itu tiba tepat waktu? Bungsu menyemangati dirinya sendiri.
Dihapusnya airmata dari kedua matanya yang bening. Tanpa memedulikan sayapnya yang perih dan nyeri, Bungsu terbang lagi. Ia ingin cepat sampai rumah Rea.
Sampailah Si Bungsu di ujung hutan Bora-bora. Di depannya tampak sungai yang lebar sekali. Airnya deras. Di sungai ini banyak buaya ganas bergigi tajam.
“Hii…!” Bungsu bergidik nyeri. Kalau tak ingat surat Pak Gajah, Si Bungsu mau menyerah saja, pulang kembali ke rumah.
Bungsu mengatur kecepatan terbangnya agar tak terlalu rendah. Karena kalau terbang terlalu rendah, buaya bisa menggigit sayapnya. “Hii…”
Bertahan terbang tinggi di atas sungai, ternyata tak mudah. Angin berembus kencang karena tidak ada pepohonan menahan laju angin.
Wuss… Angin kencang menerpa sayap Si Bungsu. Si Bungsu oleng ke kanan. Si Bungsu mengepak- kepakkan sayapnya lebih cepat.
Wuss… Angin kencang menerpa lagi. Kali ini membuat Si Bungsu oleng ke kiri. Buru-buru Si Bungsu mengepak-kepakkan sayapnya kuat-kuat.
Berkali-kali Si Bungsu oleng, nyaris terjatuh. Sementara di bawahnya, dua puluh ekor buaya berbaris rapi sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Gigi-gigi tajam bercuatan. Siap menggigit sayap Si Bungsu, begitu Si Bungsu terbang terlalu rendah sedikit saja.
Bungsu berusaha sekuat tenaga mengepakkan ke dua sayapnya. Ia tak mau digigit buaya-buaya itu.
“Ayo, Bungsu… Kamu pasti bisa!” Seru Si Bungsu memberi semangat dirinya sendiri. “Ayo, sedikit lagi…!”
Tiba-tiba… Wusss…! Angin kencang menerpa tubuh mungilnya. Bungsu kehilangan keseimbangan.
Byurr…! Blup… Blup…!
Bungsu tercebur dalam sungai. Buru-buru Si Bungsu kembali terbang sebelum buaya-buaya mendekatinya. Untunglah, sebelum buaya-buaya itu menyadari ada santapan lezat di dekatnya, Si Bungsu berhasil terbang lagi.
Si Bungsu kembali terbang dengan bulu-bulunya yang basah kuyup. “Brrr…” Si Bungsu menggigil kedinginan.
Si Bungsu memberanikan diri menundukkan kepalanya. Sungai dan barisan buaya tampak mengecil jauh di sana. Di bawah sekarang tampak atap-atap panjang berwarna kuning. Awan hitam menyelimuti atap-atap kuning itu.
Si Bungsu nekat terbang menerjang awan hitam itu.
“Uhuk… Uhuk…!” Si Bungsu terbatuk-batuk. Tenggorokannya terasa serak. Dadanya terasa sesak. Perutnya serasa diaduk-aduk.
“Awan apa itu ya? baunya tidak enak!” Si Bungsu memencet hidungnya kencang-kencang, dan berusaha terbang secepat mungkin menjauh dari awan tebal.
Kepala Si Bungsu makin terasa sakit. Matanya mulai berair. “Pedih sekali di sini,” keluh Si Bungsu.
Iseng-iseng ia melirik ke bawah. Apa yang dilihatnya? Sebuah benda seperti botol sirup raksasa. Namun, bukan sirup manis yang keluar dari botol raksasa itu. Yang keluar adalah kepulan awan hitam. Mengertilah si bungsu darimana asal awan hitam yang mengepung dirinya sekarang.
“Oh… Mungkin ini yang pernah diceritakan ayah. Ayah bilang, bangunan panjang beratap kuning itu namanya pabrik, tempat dihasilkannya suatu barang.” Si bungsu mencoba mengingat-ingat kembali cerita ayahnya tentang pabrik.
“Dan botol sirup raksasa itu,” Si Bungsu memberanikan diri mendekat.
Wuss… Tiba-tiba segumpal awan hitam menyembur keluar.
“Auw! Panas!” jerit Si Bungsu. Buru-buru ia menjauh. Ngeri membayangkan seandainya tadi ia terlambat menghindar. Pasti ia akan terjatuh dalam botol sirup raksasa itu. Ia sudah… Hiii… Si Bungsu bergidik ngeri.
Untunglah, di depan sana, Si Bungsu melihat setitik awan biru. Si Bungsu mempercepat terbangnya.
Werrr… Werr… Si Bungsu mengepak-kepakkan sayapnya kencang-kencang.
“Hore… selamat tinggal awan hitam!” sorak Si Bungsu ketika berhasil melewati kepulan awan hitam bau.
Si Bungsu memelankan terbangnya. Ia melihat ada sebuah pohon beringin. Satu-satunya pohon yang terdekat. Si Bungsu memutuskan beristirahat sejenak.
baca juga : Cerita Fiksi
Si Bungsu hinggap di salah satu ranting pohon beringin. Ia membuka bekalnya. Biskuit keju dimakannya dengan lahap. Sebungkus keripik kentang habis dilalap. “Kriuk, kriuk… Sedap!” ujarnya.
Si Bungsu membuka botol air dingin. “Gluk, gluk… Segar!” ia minum sampai tersisa separuh botol. “Kusisakan separuh, untuk bekal perjalanan pulang nanti,” Si Bungsu menutup botol rapat-rapat agar tak tumpah.
Bungkus-bungkus makanan dilipat rapi dan dimasukkan kembali dalam tas selempangnya, “Nanti setibanya di rumah, akan kuletakkan di tempat sampah.”
Si Bungsu berdiri. Memicingkan mata. Mencoba menerka-nerka ke arah mana ia harus terbang. Ia ingat, tadi Pak Gajah bilang kalau rumah Rea, adalah bangunan besar dengan tembok semen bercat putih dan atap hijau.
Si Bungsu menoleh ke kanan. Adakah rumah besar beratap hijau di sana?
“Oww! Silau!” Si Bungsu mengerjap-kerjapkan matanya. Susah payah ia melihat ada apa di sebelah kanannya. Ia memicingkan matanya. Tahulah ia kenapa ia tadi merasa silau. Menara-menara kaca itu penyebabnya. Menara kaca itu memantulkan sinar matahari hingga menyilaukan mata Si Bungsu.
“Di sana hanya ada menara kaca beratap merah muda. Pasti bukan rumah Rea.”
Si Bungsu menoleh ke kiri. Ia sudah siap-siap menyipitkan matanya. Namun, ternyata tidak ada sinar matahari yang menyilaukan. Ia bisa melihat dengan jelas.
“Oh! Itu di sana! Aku melihatnya… Aku melihatnya!” Si Bungsu melonjak-lonjak kegirangan. Ia melihat ada bangunan besar beratap hijau.
“Aku harus cepat agar tidak kesorean pulang ke rumah,” ujar Si Bungsu.
Werr … Werr…!
Bungsu melesat terbang sekencang-kencangnya. Ingin rasanya segera menyampaikan surat kepada Rea dan pulang kembali ke rumah.
Tak beberapa lama kemudian, sampailah Si Bungsu di rumah Rea. Sayang sekali, Si Bungsu tidak bisa berkenalan dengan Rea karena Rea belum pulang dari tempatnya bekerja. Rumahnya terlihat sepi.
Maka, Si Bungsu memasukkan surat Pak Gajah dalam kotak surat yang ada di halaman rumah Rea. Dan Si Bungsu bergegas pulang.
Hari sudah sore. Sinar matahari sudah tak sepanas tadi. Si Bungsu menikmati penerbangannya. Melalui jalan yang sama dan kesulitan-kesulitan yang sama. Namun, segalanya sekarang tampak lebih mudah.
Tidak tercebur dalam sungai atau menabrak ranting- ranting pohon lagi. Ia juga bisa terbang lebih cepat ketika melewati kepulan awan hitam bau.
Tak terasa, Si Bungsu telah kembali terbang di atas hutan Bora-Bora yang aman dan nyaman. Dari kejauhan, tampak atap rumah berwarna kebiru- biruan yang sangat dikenalnya. “Itu rumahku!” Seru Bungsu girang. Lekas dikepak-kepakkan sayapnya sekencang-kencangnya. “Hore! Aku sampai di rumah!”
“Ayah, Ibu, Kakak, aku pulang!” si bungsu berteriak- teriak di depan pintu rumah saking senangnya bisa kembali pulang.
“Oh, anakku. Kami semua cemas.” Ibu menyambut Bungsu dengan pelukan. “Akhirnya, kamu sampai di rumah juga. Kamu hebat!”
Dengan bangga, Bungsu menceritakan pengalamannya. Begitu banyak yang ingin ia ceritakan sampai-sampai ceritanya jadi tak beraturan.
“Sudah, sudah… Kita lanjutan nanti saja. Ayo, kita masuk ke dalam. Tampaknya ada yang perlu banyak sabun nih,” kata ayah menggoda Bungsu.
“Ah… Ayah. Biar bulu-buluku kotor begini, tapi aku berhasil mengantar surat Pak Gajah dengan selamat, lho.” Si Bungsu menepuk-nepuk dada dengan bangga.
“Hehe… Iya, iya. Kamu hebat. Ayah bangga padamu,” Ayah memeluk Si Bungsu. Kedua kakaknya juga memeluk adik mereka dengan penuh rasa bangga. Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Setelah Si Bungsu mandi, keluarga Pak Merpati makan malam bersama-sama. Mereka asyik mendengar cerita Si Bungsu sampai larut malam. Lalu bersama-sama pergi tidur karena esok mereka harus kembali bekerja. Bungsu bertekad, mulai besok ia akan membantu ayah dan ibu seperti kedua kakaknya dan tak akan bermalas-malasan lagi.
Sumber : Indonesia bercerita