Oleh Kak Fadilla Dwianti Putri
“Ular melingkar-lingkar di atas pagar rumah Pak Amir dibanjur air.”
“Ula..lr melingkarl lingkarl di atas paga..rrll.. Ulaa..rrl melingkarl.. Argh!” Aku berhenti di tengah jalan ketika lidahku mulai terasa belibet untuk mengucapkan huruf R. Aku kesal sendiri, tidak suka dengan keadaanku yang seperti ini. Aku, Ardio Satrya, sekarang sudah menginjakkan kaki di kelas 4 SD. Tapi, sampai sekarang, untuk mengucapkan satu huruf itu saja rasanya sulit sekali di lidahku ini.
Ritual mengucapkan kata-kata “ular melingkar” tersebut rutin aku lakukan bersama kakakku, Kak Medina yang sekarang duduk di kelas 6 SD, di perjalanan setiap pulang sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah kami memang hanya terhalang beberapa blok saja, memungkinkan kami berdua untuk berjalan kaki. Kak Medina dengan sabar dan berbaik hati mengajari aku setiap hari berlatih mengucapkan huruf R, meskipun sepertinya tidak ada perubahan sama sekali.
“Dio,” panggil Kak Medina. “Kenapa berhenti? Mau udahan?”
“Ah, nggak, Kak. Lanjut lagi ya, Kak?” Aku gelagapan, sadar bahwa sedari tadi aku memerhatikan jalan sembari bengong.
Kak Medina memerhatikanku dengan seksama, “Kenapa kamu ngotot banget sih, Yo? Toh, nggak ada yang protes juga kan kalau kamu cadel,” Kak Medina tampak masih tidak mengerti dengan segala kesusahanku.
“Yang protes sih nggak ada, Kak, tapi yang ngejek banyak. Coba Kakak bayangin kalau Kakak ada di posisiku!” Aku menjawab dengan setengah membentak. Memang, aku agak sensitif kalau menyangkut hal ini, meskipun Kak Medina pernah bilang kalau ini cuma masalah kecil.
“Ya udah, udah. Tapi nggak usah pake nyolot gitu bisa, ‘kan? Lagian Kakak gak masalah kalau kamu minta bantuan Kakak, cuma pengen tahu aja kenapa alasannya..” Kak Medina membalas. Sekian detik, kami berdua terdiam. Hanya memandangi jalan yang penuh dengan pepohonan sebelum kami akhirnya tiba di rumah.
“Kak..” Aku memanggil Kak Medina yang bersiap membuka sepatu sekolahnya. Kak Medina menatapku, menunggu.
“Dulu, Kak Medina gimana caranya ngelatih lidah Kakak biar bisa bilang R?” tanyaku, masih penasaran.
Kak Medina berpikir sejenak. “Nggak latihan sama sekali tuh, ngomong ya ngomong aja,” jawabnya.
Aku menghela napas panjang. Berarti memang ada yang aneh dengan diriku.
*
Baca juga : Cerita Fiksi lainnya
Hari Senin tiba. Murid-murid dari kelas 1 sampai kelas 6 semuanya dikumpulkan di lapangan untuk melaksanakan upacara bendera. Meskipun sebagian besar dari teman-temanku membenci ritual ini, entah kenapa aku tidak pernah bosan untuk melaksanakan upacara bendera. Makanya, aku selalu berdiri di barisan paling depan agar suasana khidmatnya makin terasa. Habis, teman-temanku yang berada di barisan belakang hobinya mengobrol terus dan sangat mengganggu ketenangan.
Maka, di sinilah aku berdiri, di barisan terdepan pasukan obade – untuk minggu ini, siswa kelas 4 yang kebagian menjadi obade. Kami sedang menyanyikan lagu Indonesia Raya yang mengiringi penaikan bendera. Sukses. Bendera berhenti di ujung tiang tepat ketika lagu selesai. Berikutnya, lagu Mengheningkan Cipta. Tapi kok, sampai sekarang MC-nya belum ngomong juga ya? Padahal pasukan pengibar bendera udah kembali ke tempatnya. Begitu kulirik ke arah MC, ternyata ia sedang dibopong oleh guru pembimbing ke ruang UKS! Sepertinya ia hampir mau pingsan gara-gara sinar matahari yang memang terik banget pagi ini. Hening.
Suasana lapangan hening sekali. Kalau nggak ada MC, terus gimana? Aku bertanya sendiri dalam hati. Nggak mungkin ‘kan upacara diberhentikan di tengah jalan gitu aja? Dari arah depan kulihat Pak Bram, guru yang tadi menggotong MC ke ruang UKS, perlahan jalan ke arahku.
“Dio, kamu gantikan Ratna untuk menjadi MC, ya?” bisik Pak Bram di samping telingaku.
Aku kaget mendengar permintaan Pak Bram. Mana bisa aku menjadi MC? Nggak mungkin. Belum juga menjawab, Pak Bram langsung menyeretku ke pinggir lapangan, ke tempat mic MC berada. Beliau memberi aku map yang berisi susunan kegiatan upacara yang harus aku bacakan.
“Sekarang giliran Mengheningkan Cipta,” bisiknya lagi, lalu langsung meninggalkanku begitu saja yang masih bengong. Kulihat seluruh peserta upacara sekarang melihat ke arahku, menungguku untuk berbicara. Yah, mau apa lagi.
“Mengheningkan Cipta dipimpin oleh pemimpin upacarla..” aku berbicara melalui mic di hadapanku.
Dua puluh menit kemudian, upacara berjalan dengan lancar. Cuma satu yang nggak lancar.. Lidahku yang nggak bisa mengucapkan huruf R.
*
Baca juga : cerita fabel lainnya
“Upacarla telah selesai dilaksanakan. Pemimpin upacarla dapat meninggalkan tempat upacarla, hahaha,” Riza, teman sekelasku mengolok-olokku bersama teman-temannya ketika aku akan keluar meninggalkan kelas begitu pelajaran usai. “Mana ada MC upacara nggak bisa bilang huruf R. Hahaha,” lanjutnya lagi.
Aku berjalan meninggalkan kelas dengan wajah memerah mendengar olok-olok mereka. Ingin rasanya aku membalas, tapi toh itu memang kenyataannya.
“Dio, Ardio!” Sebuah suara yang kukenal memanggilku dari belakang. Kak Medina. Ia terlihat ngos-ngosan begitu menghampiriku. Aku menengok, hanya bisa menatapnya, tak berkata apa-apa.
“Kamu kok ninggalin Kakak, sih? Padahal Kakak udah nungguin kamu sampai bubar kelas!” Kak Medina protes.
“Maaf, Kak. Lupa,” jawabku lirih sambil berbalik. Otakku sedang berpikir tentang segala kekuranganku ini. Teman-temanku di kelas, bahkan di seluruh kelas 4, tidak ada yang tidak bisa mengucapkan huruf R. Lidah mereka semua normal, tidak seperti aku yang mau menyebutkan satu huruf itu saja begitu sulit.
“Dio, tunggu Kakak dong!” Kak Medina berusaha menyejajari langkahku yang cepat.
Aku diam, tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Kak Medina yang setengah berlari menyusulku hampir saja menabrak karena aku berhenti tiba-tiba.
“Kamu kenapa sih, Dio?” Kak Medina penasaran dengan semua sikap anehku.
“Aku nggak normal, Kak,” jawabku singkat dan pelan.
“Maksud kamu apa, Dio?” Kak Medina tampak terkejut.
“Kakak dengar suaraku! Apa aku bisa mengucapkan huruf R dengan benar? Nggak, Kak! Tiap hari aku diolok-olok teman-teman aku gara-gara kekuranganku ini, dan walaupun aku udah berlatih setiap hari sama Kakak, tetep nggak ada hasilnya ‘kan, Kak!” aku menumpahkan semua uneg-unek ini kepada Kak Medina. Di luar dugaanku, reaksi Kak Medina justru ingin menahan tawa mendengar semua kata-kataku.
“Kamu tahu, Dio? Kamu itu terlalu sensitif, apa-apa dibikin pusing,” jawab Kak Medina.
“Ya itu karena Kakak nggak pernah ngerasain jadi aku!” aku membalasnya, kesal.
“Emang nggak. Tapi kalaupun Kakak jadi kamu, Kakak nggak bakalan berpikiran sama kayak kamu. Banyak kelebihan kamu yang tertutupi gara-gara kamu terlalu mikirin kekurangan kamu yang satu itu, Dio,” Kak Medina menutup perkataannya dan melenggang meninggalkan aku di depan, tidak menungguku lagi untuk pulang bareng.
*
“Dio, Dio!” panggil mama dari luar kamar ketika aku sedang asyik bermain game online dari sambungan internet yang terpasang di komputer kamarku.
“Iya, Ma,” aku menjawab tanpa memalingkan wajah dari layar komputer.
Terdengar suara pintu kamar dibuka dan tampak wajah mama muncul di baliknya. “Sini dulu yuk, Yo. Ada temen Mama nih,” katanya.
“Bentar dulu Ma, tanggung,” jawabku ogah-ogahan, fokus pada game di hadapanku. Ada temen mama terus apa hubungannya sama aku, kataku dalam hati.
“Ardio!” Mama mulai kesal, menungguku yang nggak mau beranjak dari layar komputer.
“Iya, iya!” aku mulai ngeri begitu mendengar suara mama yang semaking meninggi. Lebih baik nurut deh daripada dimarahin. Akupun langsung nge-save[1]nya dan berjalan meninggalkan kamar.
Begitu tiba di ruang tamu, kulihat sudah ada mama, Kak Medina, temannya mama, dan satu orang anak perempuan sepantaranku. Mungkin itu anaknya temannya mama.
“Ayo sini, Dio, duduk,” panggil mama begitu melihat kedatanganku. Aku menuruti dan duduk di tempat yang kosong, di sebelah mama dan temannya.
“Aduh, Dio udah besar ya, Mir. Dulu, waktu terakhir ketemu, bisa jalan aja belum,” ujar temannya mama pada mama dengan sumringah.
“Iya, sepantaran kok sama Kezia. Eh iya, kamu belum kenalan tuh sama anaknya Tante Rahmi. Namanya Kezia. Kezia, ini Ardio,” Mama menyodorkan tanganku pada anak perempuan itu. Oh, namanya Kezia.
“Ardio,” aku berkata sopan padanya sambil tersenyum. Tak kusangka, anak itu hanya membalasnya dengan senyuman. Walaupun aku sudah tahu namanya Kezia, bukan berarti dia harus diam ‘kan? Seingatku, Bu Guru pernah mengajarkan kita untuk menyebut nama kalau baru berkenalan dengan orang lain. Ah, sudahlah.
Beberapa menit kemudian, Mama dan Tante Rahmi sibuk sendiri dengan obrolan mereka berdua. Nyuekkin aku, Kak Medina, dan Kezia. Lalu, ngapain dong kamu bertiga duduk di sini kalau ujung[1]ujungnya dikacangin juga?
“Ma… Ma,” kudengar ada sebuah suara memanggil, tapi kuperhatikan itu bukan berasal dari Kak Medina.
Tante Rahmi menengok ke arah Kezia. Di luar dugaanku, Kezia tidak berkata apa-apa, melainkan menggunakan bahasa isyarat untuk berbicara kepada ibunya.
Tante Rahmi mengerti dan tersenyum, “Mira, saya pinjem toilet, ya? Kezia mau ke belakang katanya,” ia berkata pada Mama. Kezia mengangguk.
“Oh ya udah, aku antar,” kata Mama yang langsung bangkit dari duduknya, mengantarkan Tante Rahmi dan Kezia ke toilet. Tinggallah di sini aku berdua dengan Kak Medina.
“Kezia itu anak yang cantik ya,” Kak Medina mengajakku ngobrol. “Sayang, dia tunarungu,” lanjutnya yang hampir membuatku terkejut. Jadi, Kezia tunarungu? Pantas saja ia tidak berkata apa[1]apa ketika tadi berkenalan denganku.
“Dari kecil, Kezia nggak bisa bicara menggunakan mulutnya, tapi harus menggunakan bahasa isyarat,” ia melanjutkan. “Tapi, kamu tahu gak? Cerpen ‘Bunda, Aku Ingin Bicara’ yang dimuat di majalah Bobi minggu ini? Kamu udah baca ‘kan?”
Aku mengangguk, penasaran dengan maksud Kak Medina.
“Itu Kezia yang menulisnya. Kezia sadar dengan kekurangannya yang nggak bisa bicara secara verbal, makanya dia memilih untuk menulis. Dengan begitu ia harap ia bisa didengarkan oleh banyak orang…”
Aku mulai menangkap maksud dari perkataan Kak Medina. Kalau Kezia yang sama sekali nggak bisa berbicara saja bisa berkarya, gimana dengan aku? Aku mulai berpikir tentang keadaanku selama ini. Ternyata kesusahan yang aku alami memang benar[1]benar sepele. Memangnya kenapa kalau aku tidak bisa bilang huruf R? Bukankah semua orang memang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing[1]masing? Aku jadi ingat perkataan Kak Medina tadi yang mengatakan kalau aku ini memang terlalu sensitif, terlalu memikirkan hal yang sepele sampai[1]sampai aku lupa bahwa aku ini juga manusia, yang pasti memiliki kelebihan dibalik kekuranganku itu. Ah, Tuhan.. betapa bodohnya aku selama ini.
“Dio, Medina, kita makan siang sama-sama yuk!” Panggil Mama dari dalam. Aku dan Kak Medina sama-sama tersenyum sebelum akhirnya kami meninggalkan ruang tamu menuju ruang makan. Kebetulan, perutku sudah lapar minta diisi!
Copyright © 2011, Indonesia Bercerita
http://IndonesiaBercerita.org
http://blog.IndonesiaBercerita.org