Salju Pertama Kia

Oleh Kak Shofwan Al Banna Choiruzzad

“Kuma, kapan ya saljunya mulai turun?” tanya Kia tiba-tiba saat bermain dengan boneka beruang lucu kesukaannya itu.

“Menurut ramalan cuaca, saljunya turun jam 6 pagi besok,” Ibu yang sejak tadi menemani Kia bermain sambil mengutak-utik laptop menyahut dengan lembut.

“Jam enam pagi masih lama ya Bu?” Kia menoleh ke arah ibu. Si Kuma sekarang didudukkannya ke arah ibu. Kepalanya yang besar membuat boneka itu tidak bisa duduk tegak jika tidak dipegang oleh Kia.

“Kuma” dalam bahasa Jepang artinya “Beruang”. Ayah membelikannya saat ulang tahun ketujuh, bulan lalu. Kepala Kuma lebih besar dari badannya yang mungil. Warna kulitnya coklat. Matanya yang besar tampak imut-imut berpasangan dengan mulutnya yang selalu tersenyum. Beruang aneh, kata Kia suatu kali. Selalu tersenyum kapan pun. 156 Termasuk saat Kia kesal sama ayah dan memasukkan Kuma ke toilet.

“Sekarang jam berapa hayo?”

Ibu malah balik bertanya pada Kia. Kia menoleh ke arah jam dinding berbentuk bulat yang dipenuhi stiker shimajiro, macan kecil yang sering muncul di pertunjukan televisi. Jarum panjang menunjuk angka dua belas. Jarum pendek menunjuk angka delapan.

“Hmm, jam berapa ya…ngg, jam delapan!”

“Pinter,” jawab Ibu singkat. “Berarti untuk sampai jam enam pagi masih lama,” lanjut Ibu lagi.

“Nah, biar kita bisa lihat salju turun, Kia mulai tidur yuk. Udah malem.” Ayah tiba-tiba muncul dari balik pintu. Ayah rupanya mendengar pembicaraan mereka dari tadi.

Ayah menutup pintu geser yang memisahkan ruang tidur dengan ruang tengah dan mulai memasang futon, kasur tradisional Jepang yang bisa dilipat saat tidak digunakan. “Kalau tidurnya tepat waktu, kita bisa nonton pas saljunya mulai turun,” kata Ayah lagi sambil meredupkan cahaya lampu kamar.

Sambil ogah-ogahan Kia menyelinap ke dalam selimut tebal. Walaupun AC pemanas masih 157 dinyalakan, mereka tidur sambil mengenakan baju tebal dan kaus kaki saking dinginnya.

Kia memejamkan mata, namun susah sekali tidur. Pikirannya terus membayangkan salju yang turun esok hari.

Menit demi menit berlalu. Deru suara mobil dan motor dari jalan raya di depan rumah mulai tidak terdengar. Jarum panjang dan jarum pendek di jam dinding kamar Kia terus bergerak. Tik-tok-tik-tok.

Kia masih belum bisa tidur. Ia membayangkan seperti apa hujan salju itu. Apakah seperti yang dibilang oleh teman-temannya di SD yang sejak lahir sudah tinggal di Jepang ini? Apakah butiran-butiran lembut seperti kapas akan turun dari langit seperti menari? Apakah tanah-tanah, jalan, sawah, dan atap-atap rumah semuanya menjadi lautan putih yang indah? Apakah ia bisa menjumput salju putih itu, membentuknya jadi bola-bola, lalu menggunakannya untuk main perang-perangan dengan Ayah atau Ibu? Apakah Ayah akan memenuhi janji untuk membuatkan yuki daruma, orang-orangan salju di halaman parkir yang luas itu? Kia sudah menyiapkan wortel dan kerikil untuk hidung dan matanya. Oya, Kia juga tak lupa menyiapkan syal warna merah supaya si orang[1]orangan salju tidak kedinginan. Kasihan dia sendirian kedinginan di luar, pikir Kia.

Kia benar-benar tidak sabar menunggu. Apalagi, minggu ini sekolahnya sedang libur musim dingin dan tahun baru. Teman-teman sekolahnya sedang pulang ke kampung halaman masing-masing. Tahun baru di Jepang itu seperti Lebaran di Indonesia, kata Ayah menjelaskan. Kia tahu Lebaran karena mereka baru berangkat ke Jepang tahun ini. Kia sempat merasakan satu tahun SD-nya di Indonesia.

Banyak hal yang baru yang Kia temui di sini. Di sini, Kia kesulitan untuk menemukan jajanan di sekolah. Tidak ada tukang yang jualan siomay atau cilok kesukaannya. Akhirnya, ibu membawakan bento atau bekal makanan dari rumah. Kia juga takjub saat daun-daun berubah warna. Awalnya berubah jadi kuning. Lama-lama jadi merah. Bulan Oktober, kata gurunya, berarti datangnya Aki, musim gugur.

Tapi yang paling ditunggu-tunggunya adalah musim dingin. Kata teman-temannya, musim dingin akan membawa salju turun dari langit!

Sejak mendengar kata gurunya bahwa musim dingin sudah datang dan murid-murid diminta untuk menjaga kesehatan, Kia sudah membayangkan salju turun. Sudah dua minggu Kia menunggu, tapi saljunya belum turun juga. Makanya Kia gembira sekali saat kemarin Ibu memberi tahu bahwa salju akan turun besok pagi.

Tanpa sadar, Kia akhirnya tertidur lelap.

Saat Kia terbangun, jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. “Saljunya sudah berhenti turun,” kata Ibu.

Kia mulai ngambek. Ia tidak mau keluar dari selimut. Matanya basah karena menangis.

“Huu… Ibu sama Ayah jahat. Nggak bangunin Kia…huu…huu…” Kia berkata sambil terisak-isak.

“Maafin Ibu sama Ayah ya. Tadi Ayah sama Ibu udah coba bangunin Kia, tapi Kia sepertinya masih ngantuk. Jadinya susah dibangunin…” Ibu meminta maaf.

“Ibu sama Ayah jahat!” raung Kia.

Kia masih menangis sampai sekitar setengah jam. Saat mulai capek menangis, Kia mulai bangun dari tempat tidur. Mukanya masih cemberut.

“Nah, gitu dong anak Ayah dan Ibu yang pinter,” Ibu yang sedang menyiapkan makan untuk Kia di dapur tersenyum. “Cuci muka, cuci tangan, makan, lalu susul Ayah yuk.”

“Memang Ayah ke mana?” sahut Kia.

“Main salju,” kata Ibu.

“Lho, bukannya hujan saljunya sudah selesai?” Kia bingung.

“Hujannya sudah selesai, tapi saljunya kan masih banyaak,” Ibu tertawa. “Jadi Kia kira saljunya hilang kalau hujan saljunya selesai ya?”

Kia malu, tapi mulutnya tersenyum. Kakinya segera melangkah keluar. Tangannya membuka pintu dengan bersemangat.

Matanya berbinar-binar saat melihat Ayah melambaikan tangan di tangah padang putih. Semuanya putih. Sawah milik kakek-kakek tetangga pun sudah memutih. Halaman parkir yang luas itu juga putih. Mobil-mobil yang biasanya warna warni juga jadi putih!

Yang membuat Kia lebih gembira, di samping Ayah sesosok orang-orangan salju dengan hidung wortel telah berdiri. “Buruan makan, terus kita dandanin si yuki daruma ini ya!” kata Ayah dari halaman.

Kia masuk kembali ke rumah dengan bergembira. Setelah cuci muka dan makan, Kia keluar bermain dengan Ayah dan Ibu sampai siang. Selain menyelesaikan pembuatan orang-orangan salju dengan menambahkan mata kerikil dan tangan dari ranting pohon, mereka main perang-perangan dengan bola salju. Anak-anak kecil di sebelah rumah juga ikut bermain.

Lemparan Kia mengenai Ayah saat tiba-tiba ada butiran-butiran putih turun pelan-pelan dari langit. Salju. Makin lama makin lebat.

“Oya, memang siang ini katanya hujan salju lagi,” kata ibu nyengir.

Kia masih terpana. Hujan salju pertamanya turun dengan anggun, seperti sedang menari. Ibu menambahkan senyum seperti Kuma di wajah orang-orangan salju.

Penerbit : Indonesia Bercerita

Berdiri sejak 2017, Busa Pustaka hingga saat ini telah memberikan akses baca hingga ribuan anak di Provinsi Lampung. Berawal dari tak sampai sepuluh buku dan saat ini memiliki koleksi ribuan buku anak yang terus ingin ditambah demi memfasilitasi banyak anak membaca.

Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

Scroll to Top