Oleh Kak Sitta Karina
PIA menutup mata sambil tersenyum. Langit sore Papua di luar jendela pesawat bernuansa oranye. Menurut Pia, ini pemandangan terindah yang pernah dilihatnya, seindah liburannya yang serba “pertama kali”. Pertama kalinya Pia berkunjung ke Kuala Kencana, kota eksotis di tengah hutan hujan Papua. Di situ pula pertama kalinya Pia berbesar hati membuat keputusan terbaik sekaligus tersulit dengan tidak membawa pulang Kuki.
Siapakah Kuki?
Pia akan segera menjelaskannya. Sambil menutup mata, ia ulang kembali lembar demi lembar pengalaman tidak terlupakannya.
Pia baru saja menerima rapor dengan nilai bagus. Tapi ia tidak menyangka rencana liburannya bukan diisi dengan jalan-jalan di mal atau nonton summer movies bareng Diza dan Nanda, ia harus ikut Ayah 150 meneliti ke Papua! Ke negeri antah-berantah yang isinya cuma hutan belantara!
“Ayah diundang Sekolah YPJ Kuala Kencana untuk penelitian. Ada beberapa peneliti dalam dan luar negeri yang ikut bergabung,” papar Ayah. “Dan karena Bik Iyem pulang kampung, terpaksa kamu harus ikut. Nggak ada yang jagain Pia di rumah, kan?”
Karena tidak punya pilihan akhirnya Pia segera berkemas. Tiket sudah di tangan. Mereka akan berangkat besok pagi naik pesawat khusus.
Setelah menempuh 7 jam penerbangan, sampailah Pia dan Ayah di bandara Timika. Melihat lingkungan sekitarnya yang tandus, Pia semakin tidak bersemangat. Ia bahkan harus menitipkan Big anjingnya ke Oma Cherry si tetangga.
Sebuah mobil jeep telah menunggu mereka. Ayah mengobrol dengan supir yang berasal dari suku Kamaro, Pak Yakob Motte. Kolega Ayah sudah menunggu di Kuala Kencana. Pak Yakob melihat Pia dan tertawa lebar. Katanya Pia akan dapat dua teman yang seru di sana.
Pia hanya tersenyum basa-basi. Mobil pun mengantar mereka dari tempat yang kering dan berdebu ke wilayah yang serba hijau. 151 Perbedaannya sangat mencolok. Pia seperti dibawa ke dalam kelambu alam yang teduh dan asri. Di sekelilingnya terdapat pepohonan tinggi dan unik. Aroma sisa hujan membuat Pia ingin membuka jendela lebih besar lagi.
Ayah turun di kantor dan Pak Yakob mengantar Pia ke tempat bermainnya.
Baru saja Pia melepas earphone iPod dari telinga, tiba-tiba sekelebat bayangan hitam melintas di depan mobil dan tertabrak.
Pia dan Pak Yakob langsung menghambur ke luar. Dari semak-semak muncul dua anak laki-laki. Yang satu berambut hitam seperti Pia, satunya lagi berambut pirang gelap.
“Pak Yakob, jangan bilang Papa!”
“Not to my dad, too!”
Ternyata Jeep Pak Yakob menabrak seekor kuskus berbintik, salah satu hewan langka yang biasa hidup di hutan setempat. Yang mengherankan adalah mengapa hewan yang biasa hidup di pohon ini tiba[1]tiba turun ke jalanan? Arya, si anak Indonesia dengan pistol air raksasa di tangannya, menjelaskan, ”Kita lagi main tembak-tembakan, aku dan Jack. Airnya kena ke sarang kuskus dan dia lari ketakutan.”
“We didn’t mean to.” Jack ketakutan.
“Kalian tahu tindakan ini membahayakan hewan[1]hewan di sini?” tutur Pak Yakob tegas.
Arya dan Jack mengangguk.
“Kita harus merawatnya. Kelihatannya kaki belakangnya patah.”
Pia langsung berinisiatif maju. “Aku ikut. Anjing Siberian Huskey-ku, Big, juga pernah ketabrak mobil dan dia bisa kurawat sampai sembuh.”
Arya dan Jack merasa terganggu ada cewek yang tiba-tiba mencuri pamor mereka di depan Pak Yakob, orang kepercayaan ayah-ayah mereka.
Pak Yakob memutuskan, “OK. Saya tidak akan mengadukan, tapi kalian berjanji harus merawat kuskus ini?“
“Kuki,” potong Pia. “Namanya Kuki.”
“Kalian harus merawat Kuki bersama Pia. Tidak hanya main melulu. Setuju?”
Jack dan Arya setuju.
Jadilah Kuki si kuskus jinak tidur di bangunan kecil dekat rumah kaca sekolah. Sementara Ayah sibuk dengan penelitiannya, bersama Jack dan Arya, Pia 153 juga asyik merawat Kuki. Bahkan lama-kelamaan mereka menerima Pia karena ternyata ia bukan anak manja. Buktinya Pia tidak takut melihat laba-laba hutan yang lebih besar dari telapak tangan.
Ketika kaki Kuki sepenuhnya sembuh, Pia langsung memeluknya. “Kamu pasti akan menjadi teman yang baik buat Big!”
Arya dan Jack yang tadinya tersenyum hangat jadi bertukar pandang heran. Mereka baru mengerti maksud Pia.
“Nggak bisa begitu, Pia,” Jack memulai.
“Kamu tidak berniat membawa Kuki ke Jakarta kan? Kuki tidak bisa hidup selain di hutan Papua. Mengeluarkan Kuki dari sini sama saja membunuhnya,” Arya menimpali ketus, ”Kamu mau jadi pembunuh Kuki?”
Brakk!
Sambil menahan air mata, Pia pun menghambur pergi setelah melempar sekop plastik ke Arya. Sudah hampir seminggu Pia tinggal di Kuala Kencana. Lusa pesawat akan membawanya kembali ke Jakarta dan ia tidak perlu lagi melihat kedua pengkhianat ini.
Ketika tiba di bandara, sekali lagi Pia menengok ke belakang. Dadanya sakit. Teman-teman barunya 154 tidak mengantar. Ia bahkan tidak bisa melihat Kuki lagi.
Tiba-tiba terdengar deru keras mobil yang Pia kenal.
Pak Yakob datang bersama Arya dan Jack!
Mereka meminta Pia masuk ke mobil. Dengan penasaran Pia langsung ke sana dan melihat Kuki disembunyikan di dekat kaki.
“Kalau ketahuan aparat, kita bisa mati,” ucap Arya, nyengir. “Tapi Kuki pun pasti ingin mengantar si penyelamatnya, jadi diam-diam kita membawanya ke sini.”
“Write us e-mails. Tons of them. We’ll miss you, Pia,” tambah Jack.
“Duh, kalian semua?!” Pia terlalu girang untuk meneruskan kalimatnya. “Aku pasti akan kembali ke sini. Ke rumahnya Kuki!”