Oleh Kak Adyta Purbaya
Lagi-lagi Sasa rewel. Entah apa kali ini yang diinginkannya. Seharian dia hanya merengek-rengek kepada Ayah. Sementara Bunda yang sudah kebal, cuek aja, sok nggak denger apa-apa.
“Yah… beliin yaa??” Sasa merengek seraya bergelayut manja di tangan ayahnya.
Ayah yang sedang membaca koran menghela napas.
“Nggak usah, Yah… apa-apa diturutin. Ngelunjak tuh dia!” terdengar suara Bunda dari dalam.
“Ah, Bunda…” Sasa mulai memasang tampang cemberut. “Beliin ya, yaaaah?” Sasa masih terus mencoba merayu ayahnya.
Ayah mengelus kepala putri semata wayangnya itu. Tersenyum. Berat sekali rasanya menolak permintaan gadis kecilnya itu.
“Semua temen Sasa punya, Yah… Sasa sendiri yang belum punya,” rengekan Sasa semakin menjadi.
Bunda berjalan menghampiri Ayah dan Sasa, membawa sebuah mangkok plastik yang mengepulkan asap di tangannya.
“Trus kenapa kalau temen kamu punya dan kamu nggak punya?” tanya Bunda.
Sasa diam. Menunduk. Sasa memang nggak pernah berani membantah omongan bundanya.
“Kan enak kalau udah semua temen kamu punya, sana ikut nimbrung main aja sama mereka!”
Bunda mengaduk-aduk mangkok yang dibawanya. Dari aroma yang tercium, sepertinya bakso.
Sasa menarik-narik tangan ayahnya.
Ayah masih mengelus kepala gadis kecilnya. Sejujurnya dia ingin sekali meloloskan permintaan putrinya itu.
“Belinya di mana?” tanya Ayah lembut.
“Di PIM, Yah… Ada warna-warni lho. Ada yang dua tingkat juga, kayak punya Nanda,” Sasa bersemangat sekali menjelaskan.
Bunda mencibir.
“Yaudah, kamu belajar yang bener ya untuk ujian minggu depan. Setelah bagi rapor, kalau nilai rapor mu bagus, Ayah belikan buatmu satu!”
Sasa memandang ayahnya dengan tatapan berbinar. “Bener, Yah?” tanyanya tidak percaya.
Ayah mengangguk pasti, dan tersenyum.
Bunda mengeluh. “Itu kan harganya mahal, Yah… Lagian Barbie aja mau dikasih rumah-rumahan!”
Ooo… Ternyata Rumah Barbie yang diinginkan Sasa itu. Memang akhir-akhir ini sedang marak anak-anak sebayanya punya rumah-rumahan Barbie. Pantaslah kalau Sasa merengek minta dibelikan juga.
“Biar aja, Bun… Berapa pun harganya, Ayah beliin. Asal dengan catatan, nilai rapor Sasa harus bagus. Kalau bisa Sasa masuk peringkat tiga besar!” Ayah menyentil hidung mancung gadis kecilnya.
Sasa tersenyum senang, mencium ayahnya penuh sayang dan berjanji dalam hati akan belajar sebaik mungkin untuk ujian minggu depan.
***
Baca juga : Cerita anak lainnya
Hari ini adalah hari pembagian rapor. Sasa deg- degan menanti keluarnya pengumuman peringkat. Tradisi di sekolahnya, yang masuk peringkat 3 besar akan di panggil maju ke depan lapangan saat upacara sedang berlangsung, dan menerima piagam serta map berisikan rapor dari kepala sekolah langsung.
Ayah dan Bunda mengantarkan Sasa ke sekolah hari ini, mengantarkannya masuk ke barisan, lalu berdiri di ujung lapangan memperhatikan jalannya upacara.
“Baiklah, Ibu akan membacakan peringkat satu sampai tiga untuk kelas 3-A” terdengar suara Ibu Kepala Sekolah.
Bunda melirik Sasa di dalam barisan. Tampak sekali wajah tegangnya. 3-A adalah kelas Sasa.
“Peringkat tiga. Nanda Oktavia.”
Ibu Kepala Sekolah menyebutkan nama teman sekelas Sasa, dan Sasa melihat si anak yang namanya disebut maju ke depan kelas.
“Peringkat dua. Atisya Ramadhania.”
Lagi-lagi Sasa melihat temannya maju. Hatinya menciut. Gagal sudah harapan memiliki rumah- rumahan Barbie itu. Tadinya dia berharap bisa mendapatkan peringkat dua atau tiga. Tapi ternyata bukan.
Sementara berharap peringkat satu? Sasa tidak berani.
“Dan peringkat satu…” Ibu Kepala Sekolah memberi jeda pada kalimatnya. “Samatha Pramita…”
“Sasa… Nama kamu tuh!” “Wah, Sasa… selamat yaa…”
Tepuk tangan, salaman, dan ucapan selamat menghujani Sasa bertubi-tubi. Sasa masih bingung. Dia berjalan pelan ke depan lapangan, bersatu dengan teman-teman yang lain.
Peringkat satu? Dia?
Ya Tuhan, apakah ini mimpi?
Sasa melirik ke arah Ayah dan Bunda di ujung lapangan yang lain. Ayah dan Bunda tersenyum bangga padanya.
Sasa ingin menangis.
Rumah Barbie melayang-layang di kepalanya.
Senyum bangga Ayah dan Bunda menyejukkan hatinya.
***
baca juga : cerita dongeng lainnya
Malam harinya.
Ayah keluar dari kamar dengan sebuah kotak besar yang dibungkus rapi.
“Ini buat gadis kecil Ayah yang hebaaaat. Peringkat satu doooong,” Ayah menyerahkan bingkisan itu kepada Sasa, dan mencium gadis kecilnya itu penuh sayang.
“Terima kasih Ayah,” Sasa memeluk ayahnya.
“Tuh! Coba dulu kalau langsung diturutin! Kamu nggak tahu gimana rasanya berjuang untuk mendapatkan sesuatu!” celoteh Bunda dari belakang.
Sasa tersenyum. Air matanya berlinang. Ditatapnya bungkusan besar berisikan rumah Barbie yang dia minta beberapa minggu yang lalu. Rumah Barbie yang telah memotivasinya untuk belajar dengan giat dan mendapat peringkat, supaya bisa dapat hadiah dari Ayah.
Sumber : Indonesia bercerita