PADA zaman dahulu, hiduplah seorang kakek dan
nenek. Setiap hari Kakek pergi ke kaki gunung
untuk mencari kayu bakar, dan Nenek pergi ke sungai untuk mencuci.
Pada suatu hari, ketika Nenek sedang mencuci di sungai, sebutir buah persik yang besar sekali hanyut menggelinding dari hulu sungai dengan mengeluarkan bunyi kecipak. Nenek mengangkat buah persik itu dari sungai, “HUP!”.
Lalu Nenek pulang ke rumah sambil menggenggam buah itu dengan hati-hati. Kakek yang baru pulang dari gunung juga kaget melihat buah itu.
Kakek berkata sambil mengusap buah persik itu, “Oh, persik ini besar sekali!”
“Bagaimana kalau kita potong?” “Baik, ayo kita potong.”
Mereka meletakkan persik itu di atas talenan. Ketika Nenek menempatkan pisau dapur di atasnya, persik itu bergerak-gerak, bunyinya gemerisik.
“Wah, persik ini hidup!”
Pada saat itu pula, buah persik itu terbelah di tengah-tengah. Seorang anak laki-laki yang penuh semangat melompat keluar dari dalamnya.
13
Kakek dan Nenek sama-sama kaget. Yang lebih mengagetkan lagi adalah semangat anak laki-laki itu. Ia segera makan nasi dengan lahap. Hebatnya, dia makan nasi terus sampai menghabiskan semua nasi di dalam mangkok. Ia makan berkali-kali dengan mangkok besar.
Kakek dan Nenek merasa sangat gembira. Mereka menamai anak itu Momotaro karena ia lahir dari buah persik. Dalam Bahasa Jepang buah persik adalah ‘momo’.
Semakin banyak Momotaro makan, semakin ia tumbuh dengan cepat. Tidak ada orang dewasa yang menyamai kekuatannya. Ia mengangkat benda berat dengan mudah. Momotaro tumbuh menjadi anak yang kuat.
Namun ada hal kecil yang mengkhawatirkan. “Momotaro…, ciluuuuk-ba!”
Meskipun nenek berusaha menyenangkannya, Momotaro tetap diam. Meskipun kakek tersenyum manis kepadanya, Momotaro tetap diam tak bergeming.
“Wah, susah sekali. ”
Kakek dan nenek mengkhawatirkan Momotaro yang sama sekali tidak berbicara walaupun waktu telah berlalu sekian lama.
“Mengapa anak ini tidak berbicara?”
Ketika keduanya saling bertatapan, terdengarlah suara, “Aku akan melakukannya!”
Tiba-tiba Momotaro bersuara keras. Oh, ia berbicara!
“Kakek, nenek, saya akan pergi untuk membasmi raksasa.”
Kakek dan nenek merasa begitu kaget sehingga diam tercengang.
“Tolong siapkan perbekalannya,” kata Momotaro.
Tiba-tiba Nenek tersadar oleh suara Momotaro yang keras ini. Nenek berkata,
“Alangkah menakutkan, pergi membasmi raksasa. ”
Pada masa itu, para raksasa yang menakutkan sering muncul di desa dan melakukan berbagai kejahatan seperti merampok barang-barang, menculik orang-orang, dan sebagainya. Mereka menyusahkan orang-orang di desa.
Momotaro tidak dapat menahan diri setelah mengetahui hal
14
ini.
Kakek dan nenek menyiapkan kibidango, yaitu sejenis
onde-onde, serta pakaian bagus untuk Momotaro yang mereka sayangi.
Akhirnya tibalah hari keberangkatan Momotaro.
Momotaro mengenakan pakaian bagus yang dibuatkan kakek dan meletakkan bungkusan onde-onde yang dibuatkan nenek di pinggangnya.
Kakek dan nenek merasa cemas. Namun, Momotaro justru berangkat dari rumah dengan penuh semangat.
“Baik-baik selalu ya!” “Kembalilah dengan selamat!”
Kakek dan nenek yang mengantarkan Momotaro akhirnya mulai menangis.
Sementara itu, Momotaro terus menuju pulau raksasa tanpa menyadari kekhawatiran kakek dan nenek.
Di tengah jalan, seekor anjing muncul dan menyapa Momotaro.
“Tuan Momotaro, bolehkah saya minta sebutir onde-onde di pinggangmu? Kalau Tuan memberi, saya akan menjadi pengikut Tuan.”
Anjing itu menerima onde-onde dan menjadi pengikut Momotaro.
Setelah beberapa saat, muncullah seekor monyet.
“Tuan Momotaro, bolehkah saya minta sebutir onde-onde di pinggangmu? Kalau Tuan memberi, saya akan menjadi pengikut Tuan.”
Monyet itu juga menerima onde-onde dan menjadi pengikut Momotaro.
Kemudian, datanglah burung pegar. Ia mengatakan hal yang sama.
“Tuan Momotaro, bolehkah saya minta sebutir onde-onde di pinggangmu? Kalau Tuan memberi, saya akan menjadi pengikut Tuan.”
Burung pegar itu juga menerima onde-onde dan menjadi pengikut Momotaro.
15
Momotaro pun melanjutkan perjalanan ditemani anjing, monyet, dan burung pegar.
Melewati bunga dan badai, Membasmi raksasa, itulah tekadnya.
Dengan kecepatan penuh, menuju pulau raksasa. Si Momotaro yang tak kenal takut.
Mimpi besar telah diniatkan, Harus diwujudkan walau apapun. Itulah jalan seorang laki-laki.
Setelah melewati padang dan gunung, tibalah Momotaro dan rombongannya di pantai. Momotaro dan kawan-kawannya
naik perahu, dan mereka mulai mendayung dengan
bahu-membahu.
Tu, wa, ga! Tu, wa, ga!
Samudera yang luas, dunia yang menghampar. Membawa mimpi yang besar.
Tu, wa, ga!
Demikianlah, selama beberapa mengarungi lautan.
Akhirnya tibalah mereka di pulau
hari mereka terus
raksasa. Pulau yang
mereka tuju adalah pulau gunung batu yang menonjol di tengah lautan.
Burung pegar terbang untuk melakukan pengintaian. “Jangan sampai ditemukan oleh para raksasa ya!”
Perahu merapat ke pulau dengan hati-hati. Akhirnya, Momotaro dan kawan-kawan pun mendarat di pulau!
Tak lama kemudian burung pegar kembali.
“Apa? Para raksasa sedang berpesta pora dengan minuman keras? Baik, kalau begitu sekaranglah saatnya!”
Momotaro berangkat menuju pintu gerbang raksasa. Tetapi pintu gerbang itu tertutup erat, tidak bisa dibuka sama sekali.
“Serahkan saja padaku, ini mudah saja,” kata monyet. Monyet melompati pintu gerbang, dan membuka kuncinya
16
dari dalam. Momotaro membuka pintu gerbang itu. Ternyata para raksasa sedang berpesta pora dengan minuman keras. Mereka tercengang atas kemunculan mendadak Momotaro dan kawan-kawannya.
“Aku adalah Momotaro yang paling kuat di Jepang! Aku datang untuk menaklukkan para raksasa!”
Raksasa-raksasa itu kaget dan matanya berputar-putar. Di atas kepala para raksasa yang terheran-heran, anjing menggonggong, monyet menguik, dan burung pegar berkoak. Hewan-hewan itu menggigit, mencakar, dan mematuk. Momotaro yang kuat sekali terus-menerus memukul. Betapa kuatnya!
Oh, para raksasa terkaget-kaget. Terdengar hiruk-pikuk.
Dan, muncullah si pemimpin raksasa mengamuk.
“Hei、anak laki-laki yang congkak! Akulah lawanmu!”
Pemimpin raksasa mengayun-ayunkan tongkat besi yang besar ke arah Momotaro.
BUKK!
Ternyata tongkat besi yang mengenai kepala Momotaro patah, “KRAK!”. Pemimpin raksasa pun kalah.
Lalu, kepala raksasa pun ditubruk oleh kepala Momotaro
yang keras—yang mampu mematahkan tongkat besi tadi! Jelaslah siapa yang menang dan siapa yang kalah!
Pemimpin raksasa jatuh terjembab, matanya berputar-putar.
“Bagaimana? Apakah kamu tidak akan berbuat jahat lagi?” “Aku tidak akan berbuat jahat atau merusak desamu lagi.
Maaf.”
Momotaro menaruh barang-barang yang diambil dari raksasa ke dalam perahu dan bersiap-siap pulang.
“Aku akan mengantarkanmu,” kata raksasa, lalu meniup perahu Momotaro hingga perahu itu bergerak.Momotaro tiba di rumah kakek dan nenek dengan selamat. Bagi Momotaro, hal yang paling membuatnya senang adalah tercapainya mimpi membasmi raksasa.