Misteri Kamar Mandi Tua

“Kalau aku jadi Kak Lea, aku nggak akan pernah mendekati kamar mandi itu,” kata Tezar.

“Kenapa emangnya?” tanyaku penasaran.

“Nggak tahu,” sahut Tezar, “katanya Mama, ada penunggunya.”

“Penunggunya?”

Melihat reaksiku, Tezar mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Iya, tiap malam Tezar tuh sering ngelihat ada bayangan orang lewat di jendela kamar Tezar.”

“Bayangan?”

Lea menoyor jidat Tezar dengan telunjuk kanannya. “Dasar kamu, kecil-kecil udah mau bohongin aku ya?”

“Aku nggak bohong tante Lea. Beneran deh. Suer!” Tezar mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan.

“Ah udah ah. Ngomong yang lain aja!” usulku.

“Ya udah, kalau nggak percaya weekkk.” Tezar menjulurkan lidah kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Sepertinya dia kesal ceritanya sudah kusepelekan.

***

Malam itu, aku terbangun. Kulihat jam menunjukkan pukul 01.33. Sesosok bayangan dari balik luar jendela berjalan. Aku terkejut. ‘Ah, bayangan yang diceritakan Tezar.’ pikirku, atau maling? Aku beranjak dari tempat tidurku untuk mengintip siapa gerangan yang sudah lewat di depan jendela kamarku.

Aku menguntit diam-diam, hingga sampai ke belakang rumah. Namun, aku tak menemukan siapapun atau apapun di sana. Yang ada hanyalah sebuah lemari tua milik Mbah Uti yang tidak boleh disentuhnya. Kini hanya ada dia dan lemari tua itu. Berhadap-hadapan. Rasa penasaran menyerang hatiku.

Hanya saja, aku masih teringat pesan Mbah Uti agar tidak menyentuh kamar mandi tua itu. Aku tidak tertarik mengetahui apa yang terjadi seandainya aku membukanya. Karena itu, selama ini aku memang tidak pernah menyentuhnya.

Hatiku mendadak takut. Aku membayangkan seandainya bayangan yang kulihat tadi bersembunyi di dalam kamar mandi tua itu. Kebimbangan menyelimuti hatiku.

‘Hanya memastikan!’ begitu yang ada di pikiranku saat itu. Aku tidak mau mengambil risiko menyembunyikan seseorang di dalam rumah Mbah Uti.

Lagipula, ada apa dengan kamar mandi tua itu? Sehingga, tidak boleh disentuh, bahkan dibuka olehnya. Sepertinya hanya kamar mandi kosong tak ada isinya, apalagi barang-barang Mbah Uti.

“Omong kosong!”

Aku akhirnya mendatangi kamar mandi tua itu dan membukanya. Ketika terbuka, tak ada apapun di sana, selain bau apak dan hawa dingin. Aku menghela napas lega. Bersyukur tidak ada apapun di kamar mandi tua itu.

Tiba-tiba, sehelai rambut jatuh di keningku. Aku mengerutkan keningku. ‘Dari mana rambut-rambut ini?’ pikirku. Sejurus berikutnya, helai-helai rambut lain jatuh di atas kepalaku. Secara spontan aku melongok ke atas.

“AHH… AHH… AHHH…” Aku berteriak-teriak sekuat tenaganya. Apa yang dilihatnya adalah hal paling ganjil yang pernah kulihat. Sesosok wanita berdiri dengan posisi terbalik di eternit sedang memandangiku. Seluruh bola matanya berwarna putih.

Aku terbangun, dan menemukan diriku berada di dalam kamar tidur. Mbah Uti yang membawaku. Ia membopongku saat bangun Subuh tadi. Katanya, aku pingsan di lorong dapur di depan lemari.

Belakangan aku baru tahu kalau itu adalah makhluk peliharaan Mbah Uti yang dipakai untuk pesugihannya. Tapi, entahlah tidak ada yang mengetahuinya secara pasti, selain Mbah Uti dan Tuhan. []

sumber : ceritapendekhoror.blogspot.com

Berdiri sejak 2017, Busa Pustaka hingga saat ini telah memberikan akses baca hingga ribuan anak di Provinsi Lampung. Berawal dari tak sampai sepuluh buku dan saat ini memiliki koleksi ribuan buku anak yang terus ingin ditambah demi memfasilitasi banyak anak membaca.

Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

Scroll to Top