Di tengah hutan belantara terdapat sebuah sungai, tempat minum para penghuni hutan. Di hutan itu ada raja monyet (kera) yang bernama Ki Mandahong. Tubuhnya tinggi besar, berbeda dari monyet lainnya.
Ki Mandahong sedang duduk termenung di tepi sungai. Ia menyendiri sambil merenung memikirkan perjalanan hidupnya. Sebagai raja monyet, Ki Mandahong harus turun dari jabatannya, dilengserkan oleh rakyatnya sendiri karena usianya sudah tua. Sementara itu, Ki Mandahong masih ingin menjadi raja monyet di belantara itu.
Ki Mandahong bangun, kemudian berjalan pelan menyusuri tepi sungai. Tidak lama kemudian, ia naik pohon mangga limus4 yang tengah berbuah. Buahnya ranum dan sudah ada yang masak.
“Mmm… tidak jadi mandah5 juga, makanan banyak,” kata Ki Mandahong menghibur hati. Tangannya memetik mangga limus yang sudah masak, kemudian mangga itu digerogotinya. Lama kelamaan Ki Mandahong merasa kenyang, tetapi ia terus mengambilnya.
“Ah, ini kecil!” Kata Ki Mandahong sambil melempar mangga itu ke tanah. Tangannya memetik lagi, “Ah, peot!” Ki Mandahong pun melempar mangga itu ke sungai.
“Plung! Plung! Kecemplung,” suara mangga jatuh ke sungai. “Mmm …suaranya enak juga, seperti suara gong dan kenong. Kalau begitu akan aku goyang- goyang pohonnya supaya buahnya jatuh, dan bunyinya lebih lengkap,” Ki Mandahong bicara sendirian.
“Drrr…rrr…Plung!…Plung!…Plung… Degdeg Plung! …Aduhhh…suaranya seperti bunyi angklung, nikmat sekali.”
Di bawah pohon limus ternyata ada seekor kura-kura yang sedang istirahat. Kura-kura itu lelah sehabis mencari makanan sepanjang sungai, tetapi tidak mendapatkan hasil. Mendengar suara ramai kura-kura itu bangun sambil melihat-lihat apa yang terjadi.
“Mmm…dasar rezeki, kalau sudah datang tak perlu diundang, seperti air yang sedang banjir. Namun, kalau sedang naas, seperti sungai yang kering, tak ada air sedikit pun, walau hanya untuk sekadar cuci muka. Emmm… Terima kasih ya Allah Yang Maha Pengasih. Kebetulan saya sedang lapar, melihat limus di darat dan di sungai begitu banyak,” kata Kura- Kura penuh syukur.
Sambil mengambil mangga, Kura-kura pun melihat ke atas pohon limus. Ia sangat terkejut, melihat Monyet yang sangat besar tengah bermain-main di antara dahan pohon limus.
“Pemurah juga Monyet itu, tahu kalau aku sangat lapar,” kata Kura-Kura dalam hatinya. Kura-kura menengadah sambil terus berkata, “Juragan yang duduk di atas pohon, yang saleh dan berbudi, mudah-mudahan bisa turun sebentar karena saya ingin berterima kasih.”
Ki Mandahong melihat ke sana kemari takut ada makhluk lain yang dipanggil. Di sisi lain, ia juga merasa bukan makhluk soleh, apalagi berbudi. Setelah merasa tidak ada makhluk lain, Ki Mandahong pun merasa tersanjung. “Si Bodoh ini, tidak tahu kalau aku sudah dilengserkan oleh rakyatku sendiri. Ia masih takut dan bicaranya santun. Hemm…dasar!!!” kata Ki Mandahong pada kura-kura sambil ia pelan-pelan turun dari pohon limus.
“Ada apa Kura-kura?”
“Aduh…Aduh, pantesan… Juragan (Tuan) Mandahong. Begini… Tuan, saya mau berterima kasih karena merasa disambung umur. Saya sedang haus dan lapar, tiba-tiba diberi limus banyak sekali.”
“Ya….ya, Kura-Kura. Harus banyak bersyukur. Hidup di dunia ini kan katanya harus gotong royong, kalau ada rezeki harus saling berbagi. Jangan seperti bangsa monyet, tidak mempunyai perasaan.”
“Memangnya kenapa Juragan?” “Mentang-mentang aku sudah tua, aku dilengserkan dari mandah.”
“Ooo begitu …. sabar Juragan. Gantian dengan yang muda, yang muda banyak ide.”
“Aku juga masih mampu, Kura-Kura.” “Percaya Juragan, tapi kalau umur sudah tua lebih baik siap-siap cari bekal untuk ganti alam.”
“Kura-Kura… Kura-Kura…, tingkahmu seperti manusia saja. Berkata bijak. Bersikap sebaliknya.”
“Hehehe…kelakuan manusia yang baik bolehlah kita tiru Juragan.”
“Yayaya…akan kupikir-pikir,” kata Ki Mandahong sambil cemberut. Sejak saat itu mereka menjadi teman baik. Ki Mandahong senang karena ada Kura-Kura yang bisa disuruh-suruh. Begitu pula Kura- Kura merasa senang karena diaku oleh mantan seorang raja. Mereka sering bicara di bawah pohon limus. Kadang membicarakan masalah pribadi. Kadang membahas masalah kerajaan.
Penulis : Atisah Penyunting : Dony Setiawan Ilustrator : EorG
Penata Letak: Asep Lukman Arif Hidayat
Diterbitkan ulang pada tahun 2017 oleh:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun Jakarta Timur