Aku berlari sekuat-kuatku berlari, saat kakiku menyandung sesuatu. Membuatku tersuruk-suruk jatuh ke tanah. Aku meringis kesakitan. Namun rasa itu sudah tidak kupedulikan. Tidak untuk saat ini. Tidak saat monster itu ada di belakangku. Mengejarku. Aku berlari kembali. Dan… Tiba-tiba aku harus menghentikan langkahku saat ia muncul di hadapanku.
Aku mundur perlahan-lahan. Tidak ada jalan keluar dari sini.
“Ahhh… Ahhh… Ahhh… Pergi!!!”
“Bu, aku minta tandatangan,” kataku sambil menyodorkan surat ijin untuk mengikuti kegiatan kemping pramuka di sekolahku.
“Apa ini?” tanya ibuku melihat surat yang kusodorkan.
“Surat ijin, bu,” sahutku, “Nanti habis ujian sekolah, anak-anak kelas 4 mau kemping.”
Ibuku mengambil surat ijin tersebut, membacanya dengan seksama, lalu manggut-manggut dan menggumam, “hmm.” Sesaat kemudian, ibuku membubuhkan tandatangannya. Mendapatkan surat ijinku telah dibubuhi tandatangan, aku berjingkat kegirangan. Sudah lama aku menginginkan pergi bersama teman-teman untuk kemping. Karena aku suka petualangan.
Dengan mengantongi ijin dari ibuku, aku kemudian berangkat ke sekolah dengan keceriaan yang tidak biasanya. Di sekolah aku membahas hal ini dengan teman-teman sekolahku.
“Kau sudah mendapat ijin dari ibumu?” tanya Heru — sahabatku yang memiliki tubuh bongsor.
“Sudah dong! Nih!” Tunjukku kepada teman-temanku.
“Kau?”
“Ini!” Charly menunjukkan juga surat ijin mereka.
“Kau sendiri gimana?” tanyaku pada Heru.
Tiba-tiba Heru menunjukkan ekspresi sedih. Sepertinya dia tidak mendapatkan ijin dari orangtuanya untuk mengikuti kegiatan ini.
“Kau nggak diijinkan ya?” tanyaku lagi.
Tentu saja, tanpa keikutsertaan Heru semuanya akan terasa sangat sepi.
“Iya.” Kini giliranku dan Charly menunjukkan ekspresi sedih. “Tapi bohong. Hahaha…” Heru melanjutkan kata-katanya lagi.
“Ah, sialan kau.” Kami menonjok lengan Heru bersama-sama.
Hari H pun tiba…
Kami semua – anak-anak kelas 4 – berangkat ke tempat kemping. Kami semua dinaikkan ke sebuah truk yang besar sekali. Baru kali ini aku naik di punggung truk. Aku jadi teringat pesan ayahku almarhum, kalau
bisa melakukannya sekarang, lakukanlah sekarang kelak bisa saja kamu tidak akan memiliki kesempatan itu lagi. Dan inilah pengalaman pertamaku naik di punggung sebuah truk. Selama perjalanan kami semua bernyanyi-nyanyi riang gembira. Tidak ada rasa susah di wajah kami. Semua berwajah gembira. Termasuk
teman-temanku yang perempuan. Sesampainya di tempat kemping, kami segera mengikuti apa yang diperintahkan kakak pembina.
“Malam ini, kita akan melakukan kegiatan mencari jejak,” kata kakak pembina.
Kami pun dijadikan dalam grup-grup. Begitu mengetahui aku jadi satu kelompok dengan Heru dan Charly.
“Kegiatan ini untuk melatih kepemimpinan kalian. Jadi kalian pilih pemimpin kalian ya. Nanti dua anggotanya matanya ditutup. Ini untuk simbolik bahwa pemimpin harus ada di depan untuk mencari jalan keluar. Makanya kegiatan ini dinamakan mencari jejak.” Kami menyambut gembira kegiatan ini. Rasanya berbau petualangan.
Aku dan Charly pun ditutup matanya. Sementara Heru tidak. Kami berdua mengikatkan diri kepada Heru. Dan mengikuti tiap langkah Heru. Jika dia bilang kiri, maka kami ke kiri. Jika dia bilang kanan, maka kami
ke kanan. Jika dia bilang kami harus melangkah lebih lebar karena ada hambatan di kaki kami, maka kami melakukan apa yang diperintahkan. Tiba-tiba di tengah kegiatan itu berlangsung, aku mendengar suara yang
aneh. Segera saja terdengar jeritan minta tolong, “Argh… Charly… Wawan… Tolongggg…” Itu adalah suara Heru. Dan beberapa saat kemudian, aku mendengar suara Charly juga menjerit. Akhirnya aku membuka penutup mataku. Semuanya dalam keadaan gelap. Dan aku sendirian. Tak ada siapapun. Tak ada
suara apapun. Kecuali suara jangkrik-jangkrik dan hewan malam lainnya. Aku terpisah dari kedua temanku.
Tak begitu jauh dari tempatku, terdengar suara kresak. “Siapa itu? Heru?” tanyaku sambil berjalan maju ke arah suara, “Charly?” Tak ada sahutan. Kini semuanya benar-benar hening. Suara kresak pun
kembali terdengar dari arah yang sama. Aku maju perlahan-lahan. Perasaan takut mulai menguasai ke dalam
hatiku. Dan kutemukan kenyataan lain…”Hah?” tanyaku membatin, tercekat melihatnya. “Siapa itu? Siapa itu? Bukankah itu tubuhnya Heru? Tapi siapa yang sedang berjongkok itu? Sepertinya ia sedang mengunyah sesuatu.” Aku memperhatikan lebih seksama. “Ahhh, dia sedang memakan tubuh Heru?”
Rasa takut yang sangat segera menguasai tubuhku. Aku mencoba untuk segera pergi dari situ. Aku mundur pelan-pelan. Krak. Aku menyadari telah menginjak ranting pohon. Aku terdiam dan menengok ke arah
sesuatu yang kulihat tadi. Sosok yang memakan tubuh Heru itu sudah tidak ada lagi.
Aku memicingkan mataku, mencoba lebih menguasai keadaan sekitar. Siapa tahu monster itu sudah mengetahui aku. Lalu, aku merasakan sesuatu itu sudah ada di tengkukku. Bulu kudukku meremang. Dan sebuah suara mendesis pelan terdengar di telingaku.
“Apa kau mencariku?” tanya desisan suara itu.
Aku berlari sekuat-kuatku berlari, saat kakiku menyandung sesuatu. Membuatku tersuruk-suruk jatuh ke tanah. Aku meringis kesakitan. Namun rasa itu sudah tidak kupedulikan. Tidak untuk saat ini. Tidak saat
monster itu ada di belakangku. Mengejarku. Aku berlari kembali. Dan… Tiba-tiba aku harus menghentikan langkahku saat melihat tubuh Charly di sebuah pohon.
Aku mundur perlahan-lahan. Tidak ada jalan keluar dari sini. “Ahhh… Ahhh… Ahhh… Pergiii!!!” Monster itu kini tampak sangat jelas menjulur-julurkan lidahnya yang panjang. Bibirnya merah dan terus tersenyum kepadaku. Oh, tidak itu bukan merah asli. Itu merah darah. Monster itu mendekat padaku. Kemudian… Kemudian… Semuanya begitu gelap. Tak ada apa-apa lagi. Tak ada suara. Segalanya hening.
***
Ibu heran melihatku pulang dalam keadaan berdarah dan menangis. “Kamu kenapa, Wan?”
“Ibuuu… Huhu… Ibuuu…”
“Kamu kenapa?” Ibu semakin panik dan mengguncang-guncang tubuhku.
Monster bibir merah pun keluar dari punggungku yang telah bolong. Kemudian menerkam ibuku. Aku melihat semuanya sebelum semuanya menjadi gelap. Gelap. Tak ada suara apapun. Semuanya hening.
[End]
Sumber : ceritapendekhoror.blogspot.com