Oleh A. Soebli Arief
Alkisah menurut dongeng, tersebutlah kaum Kerayan delapan bersaudara di Tiwai, sedang berkelahi merebutkan harta pusaka Wang Delapan Molo. Masing-masing di antara mereka ingin memi- liki harta tersebut. Salah seorang di antaranya yang bernama Telgis melarikan diri karena sakit hati tidak mendapat harta pu- saka tersebut.
Telgis lari berjalan kaki masuk hutan keluar hutan. Akhirnya ia sampai di Muara Kehala. Karena hari sudah malam, maka tidur- lah ia di Muara Kehala. Keesokan harinya ia melanjutkan perjalan- annya hingga sampai di Senteyau Ohong. Di Ohong Telgis bertemu dengan dua orang perempuan dan seorang anak laki yang masih kecil. Menurut cerita salah seorang dari perempuan tersebut barn saja kematian suami, sedang yang seorang lagi, yaitu saudaranya, tidak bersuami. Kebetulan di Ohong pada waktu itu hanya mereka saja penghuninya. Maka berkatalah Telgis, apakah ia dapat berma- lam di pondok kedua perempuan tersebut. Kedua perempuan ter- sebut mengizinkannya bermalam di pondok mereka.
Panjang kisah pendek cerita, akibat pergaulan sehari-hari selama Telgis tinggal di pondok perempuan tersebut, maka atas permin- taan Telgis, kawinlah Telgis dengan perempuan yang telah mati suaminya. Mereka hidup rukun di Ohong. Kerja mereka sehari-hari berladang. Sewaktu-wakiu Telgis pergi pula berburu ke hutan.
Baca juga : Misteri Kamar Mandi Tua
Pada suatu hari Telgis duduk-duduk di pelataran pondok mere- ka. Sedang asyik-asyiknya duduk, lewatlah burung sarang berka- wan-kawan berterbangan di atas kepalanya. Melihat burung ter- sebut, terpikirlah oleh Telgis bahwa tentu ada gua sarang di dekat sini. Maka diceritakan hai tersebut kepada istrinya. Berkata Tel- gis, “Kalau gua sarang tersebut kita dapati, maka akan senanglah hidup kita.” Mendengar ucapan Telgis itu, alangkah senang hati istrinya.
Keesokan harinya diintainyalah kawanan burung sarang ter- sebut. Ketika dilihat, maka diikutilah ke mana perginya. Akhirnya bertemulah Telgis dengan gua tempat burung-burung tersebut
bersarang. Ketika masuk ke gua itu alangkah gembira hati Telgis melihat sarang-sarang yang belum pernah dijamah oleh tangan ma- nusia. Maka tidak berpikir panjang, naiklah Telgis ke bumbut mengambil sarang. Setelah penuh kiyag Telgis dengan sarang, maka pulanglah ia ke pondoknya dengan perasaan gembira. Sesampai- nya di rumah ditunjukkanlah sarang-sarang hasil pendapatannya itu kepada istrinya. Istrinya pun merasa gembira. Maka berkatalah Telgis, bahwa sarang-sarang tersebut akan dipersembahkan kepada Aji Sultán di Tenggarong. Istrinya pun setuju.
Pada suatu hari berangkatlah Telgis berjalan kaki menembus hutan menuju Tenggarong. Pada waktu itu belum ada Sungai Ohong seperti sekarang ini. Sesampainya Telgis di Tanjong Ridan, perjalanan Telgis terhalang oleh akar keliyat yang sangat besar menghadang jalanan. Karena marahnya, Telgis memarang akar ter- sebut. Tiga hari kemudian barulah akar keliyat itu putus. Ketika Telgis hendak meneruskan perjalanan, ia menunda maksudnya, karena dari potongan akar itu keluar air deras sekali, sehingga air yang mengalir itu mengalur seperti sungai. Terpikirlah oleh Telgis daripada payah-payah berjalan, lebih baik kembali dulu membuat lunas agar dapat menyusur arus air tersebut. Maka pu- langlah Telgis ke pondoknya untuk langsung berbahan (membuat) lunas guna milir ke Tenggarong.
Baca juga : Bus Hantu
Alkisah selesailah lunas tersebut, lalu dihanyuti arus sungai yang barn itu. Demikianlah mula-mula terjadinya Sungai Ohong. Akhir- nya Telgis sampai di Tenggarong dan langsung menemui Aji Sul- tan. Telgis mempersembahkan sarang burung bawaannya itu pada Aji Sultan. Persembahan Telgis disambut Aji dengan senang hati, dan Aji serta-merta menanyakan dari mana asal usul Telgis. Maka Telgis pun menceritakan asal-usul kedatangannya sampai pada di- temukan sarang burung tersebut. Maka Telgis diberi gelar dengan sebutan Mantiq. Aji juga memberi hadiah alat-alat dapur rumah tangga berupa panci, sogon, dan lain-lain serta bahan-bahan makanan seperti tembakau, garam, dan lain-lain. Setelah semuanya selesai, kembalilah Telgis ke Senteyau Ohong dan jadi Mantiq di sana.
Adapun akar keliat yang dipotong Telgis hanyut dibawa arus air dan sempang di Mahakam Genting. Akar keliat tersebut menjadi Buaya Kuning dan memberi mimpi kepada Telgis, bahwa ia (akar) jadi Buaya Kuning tinggal di Mahakam Genting. Kalau Telgis mendapat kesusahan panggil saja Buaya Kuning (Berhala Kuning).
Berhala Kuning tersebut akhirnya pindah ke Mauq. Tiap tahun Berhala Kuning tersebut diberi tepung tawar dan menurut cerita, karena sudah ada sungai, ramailah orang berkunjung ke Ohong. Akhirnya Ohong menjadi kampung. Penduduk berasal dari ketu- runan Tiwai ini hingga sekarang masih hidup.
Sumber : Dewan Redaksi Penerbitan Kutai, Balai Pustaka