Oleh A. Soebali Arief
Tanah kuasa, tanah kersa, busung jonet bura, Tanah putih bura, tanah bungka kasar.
Di tanah kuasa Raja bisa, Raja kuasa.
Di tanah putih bura Aji kemihin Raja kemahang.
Tanah kersa ditempati oleh nau niu.
Busung jonet bure ditempati oleh Dikong Doking. Tanah bungka kasar ditempati oleh Diking Dahang.
Menurut kepercayaan Dayak suku Benuaq, pada waktu dahulu langit dan bumi belum diciptakan. Karena tanah kuasa tidak bisa bertambah dan tidak bisa berkurang, maka bermusyawarahlah Raja Sepuluh.
Baca juga : Masalah Pendidikan di Indonesia
Adapun Raja sepuluh itu mempunyai harta yang disebut Naga Galang Bumi. Naga Galang Bumi disuruh melingkar oleh Raja Sepuluh, yang dijawab oleh Naga Galang Bumi, “Bisa, tetapi apa makananku.” Oleh Raja Bisa dan Raja Kuasa ia disuruh makan ekornya, karena makanan yang ada di bumi sekarang tidak cukup. Naga Galang Bumi menjawab, “Baiklah, ekor saya akan saya ma- kan dan kalau memang sampai saatnya makan ekor, maka ada tanda-tanda yaitu:
Tanah bergerak delapan kali, menandakan bumi sudah tua, tanda bumi gelap gulita, segala makanan terasa pahit dan tanda turun hujan api.
Di tengah lingkaran Naga Galang Bumi, diletakkan batu diding- king.
Sesudah ada batu, Raja Bisa dan Raja Kuasa, menggunakan penggolong tanah dan penggolong Langit. Penggolong tanah di- jadikan Imam Pembayau, Imam Pembayau itu mempunyai dua orang anak, seorang bernama Olo Onah, seorang lagi bernama Inang Mangkalayang.
Penggolong langit dijadikan Rindu Renuang. Rindu Renuang mempunyai anak dua orang, yang seorang bernama Bulan dan yang seorang lagi bernama Lolang Kinrang. Lama kelamaan anak
Imam Pembayau yang bernama Olo beristrikan Bulan anak Rindu Renuang, sedangkan Inang Mangkalayang beristrikan Lolang Kin- rang. Inang Mangkalayang dan Lolang Kinrang kemudian mem- punyai anak yakni :
Sengiang Penitah Perjadi Panting Langit, Sengiang Olo, Sengiang Bulan, Sengiang Bintang, Sengiang Langat, Sengiang Hujan, Se- ngiang Kilat, Sengiang Kilat, Sengiang Peter, dan Sengiang Samat.
Karena Inang Mangkalayang dan Lolang Kinrang beranak ba- nyak, maka dunia yang ada tidak cukup lagi. Lalu Raja Sepuluh memandang perlu untuk bermusyawarah. Hasil musyawarah itu menggunakan lagi pusaka penining penanang, lamus pemusus, pu- hung gerung tak timo.
Setelah pusaka tersebut ditempatkan di bumi yang ada, maka Raja Kuasa dan Raja Bisa bermusyawarah lagi menggunakan peng- golong langit.
Baca juga : Literasi Anak
Sesudah dibuat tempatong untuk diayun dan dipuja hingga menjadi manusia, jadilah Sangkariang Walo, Sangkaripang Walo, datoq bulau dara bungkang Ayus jujung silukurai, itah ayan ayau, itah ayan anai. Sangkariang dan Sangkaripang tugasnya menempa bumi. Setelah bumi menjadi sebesar lingkaran Naga Galang Bumi, maka Sangkariang dan Sangkaripang bermusyawarah lagi, karena melihat langit dan bumi belum ada perhiasannya. Maka dikirim suara dengan Ayan Ayau dan Ayan Anai, supaya disampaikan pada Raja Kuasa dan Raja Bisa agar menggunakan pusaka peng- golong langit untuk membuat tempatong lagi hingga jadi manusia yang disebut Itah Ibau Jaun.
Itah Ibau Jaun dibunuh untuk diambil darahnya guna dijadikan awan berwarna-warni dan di tanah dijadikan rumput-rumputan. Awan dan rumput sudah ada, tapi angin dan hujan belum ada, maka Sangkariang dan Sangkaripang bermusyawarah lagi dan me- merintahkan Ayan Ayau dan Ayan Anai Nancang Siyut Nancang Suyan. Nancang Siyut dijadikan Angin, Nancang Suyan dijadikan hujan.
Setelah cukup perhiasan bumi, maka manusia ada yang sakit, yaitu anak Inang Mangkalayang yang bernama Tiyang Munai. Ka- rena Inang Mangkalayang tidak tahu mengobatinya, diutuslah Ayan Ayau dan Ayan Anai menghadap Raja Bisa Raja Kuasa un- tuk minta tolong. Maka jawab Raja Bisa Raja Kuasa, “Bukankah singkar Olo tahu Belian?” Maka belianlah Singkar Olo, dari tim-beq sampai Ngugu Tahun selama dua kali delapan. Setelah ditim- beq sampai Ngugu Tahun, maka disuruh lagi belian Bawo selama dua kali delapan. Sesudah itu Singkar Bulau belian Bawo, namun si sakit tetap tidak mau sembuh. Maka diutus lagi Ayan Ayau Ayan Anai menghadap Raja Bisa Raja Kuasa, menanyakan mengapa si sakit tidak mau sembuh. Maka dijawab oleh Raja Bisa dan Raja Kuasa, bahwa kalau ajal sudah sampai, itu mesti mati dan kalau ajal masih ada, itu bisa diobati dan bisa sembuh.
Sumber : Dewan Redaksi Penerbitan Kutai, Balai Pustaka