Oleh Mukrie Abdullah
Tanjung Harapan nama sebuah kampung yang pada masa de- pannya akan menjadi cemerlang adalah sebuah kampung berpen- duduk tidak begitu padat, tetapi mempunyai penghasilan yang cu- kup. Namanya dulu Tanjung Langkap. Nama ini merupakan salah satu dari nama-nama kampung dalam Kecamatan Sebulu daerah Kutai.
Tersebutlah konon dalam sebuah cerita lama di sana berdiam seorang ibu dengan anaknya, sedang ayah anak ini telah lama me- ninggal dunia. Hidup anak dengan ibunya sangat sederhana meng- ingat penghasilan hanya cukup ala kadarnya. Namun berkat di- dikan ibunya, maka anaknya bercita-cita tinggi sekali pada jaman- nya.
Si Anak ingin merantau mencari ilmu ke negeri orang lain. Ini berarti ia hendak meninggalkan kampung. Karena itu pada suatu hari berkatalah si anak kepada ibunya, “Bu… izinkanlah saya me- rantau pergi mencari ilmu dan kebahagiaan di negeri orang.”
“Hai Bocah1), kamu ini ada-ada saja. Dari kecil kamu kupeli- hara dan kubesarkan. Sudah itu kujaga dengan hati-hati sekali, ku- kabulkan apa-apa yang kamu minta dan dapat kupenuhi. Tapi se- telah besar kamu mau meninggalkan ibu. Padahal siapa lagi yang dapat diharapkan selain kamu, anakku. Tidakkah kamu kasihan pada ibu? Ayahmu sudah lama meninggalkan kita, kini kamu mau pula meninggalkan ibu pergi merantau!” “Ibu, saya hanya merencanakan,” jawab si anak. “Kalau memang mendapat persetujuan dari ibu, baru anakda mau melaksanakan- nya. Anakda sedikit pun tidak hendak membantah, perkataan ibu jualah yang anakda turut. Tapi cobalah ibu pikirkan dan renung- kan masak-masak, Bocah sudah berusia lima belas tahun. Kalau Bocah masih bersama ibu mendiami gubuk yang kecil ini, tentu kita tidak ada perubahan. Padahal Bocah ingin berusaha sendiri bu.
Siapa tahu nanti Bocah menjadi kaya di negeri orang dan tentu akhirnya akan kembali jua pada ibu.”
Baca juga : Asal Mula Pulau Nusa
Ibunya berdiam diri mendengarkan perkataan anaknya. Sedikit banyak ada juga termasuk di pikirannya. Menurut pendapatnya benar juga perkataan Bocah ini. Baiklah kuizinkan saja niatnya hendak merantau itu.
“Bocah, sebenarnya ibu sudah mengambil keputusan. Kalau memang kamu hendak merantau dengan maksud baik, pergilah. Ibunda mengizinkan asal saja nanti kamu mau pulang. Anakda jangan lalai, karena ibu sudah lanjut usia, khawatir kalau-kalau tidak melihat kamu lagi.”
Mendengar suara ibunya demikian itu si anak lalu berkata, “Ah, ibu ini ada-ada saja, benarkah ibu mengizinkan? Sungguh gembira hati anakda, gembira karena ibu ternyata mengizinkan anakda pergi merantau.”
Alkisah pergilah si Bocah merantau ke negeri orang. Hari ber- ganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun hingga sam- pai berjumlah dua puluh lima tahun. Si Bocah telali besar dan nampak gagah sekali. la pun menjadi kaya raya pada jamannya itu.
Suatu ketika terdengarlah berita, bahwa si Bocah ada di suatu kerajaan yang besar di negeri Antah Berantah. Kekayaan Bocah sama dengan kekayaan raja, hanya si Bocah tidak mempunyai kekuasaan. Bocah menjadi seorang saudagar, sedang istrinya sa- ngat cantik, yakni salah seorang putri seorang bangsawan pada jaman itu.
Baca juga : Sangi Sang Pemburu
Alkisah akhirnya si Bocah rindu pada kampung halamannya dan rindu pula pada ibunya. Karena itu ia mengambil keputusan hendak berlayar pulang ke kampung menjenguk ibunya yang su- dah lama ditinggalkan. Pada suatu hari si Bocah saudagar yang kaya raya itu meme- rintahkan pada pembantu utamanya, “Siapkan sebuah Jung Besar. Pasang layar, atur perbekalan selengkapnya dalam jumlah banyak. Besok di hari yang baik kita akan berlayar menuju negeri Pesisir Tepi Laut. ” (Yaitu sebuah desa yang sekarang ini bernama Tan- jung Harapan). Dahulu desa ini digenangi air laut dan desa-desa yang ada di sekitar daerah itu Pesisir Laut namanya. Demikian- lah akhirnya dengan megah Jung mengarungi lautan dan diarahkan menuju Negeri Pesisir Laut. Pelayaran di laut tidak mendapat gangguan apa-apa. Bocah bersama istrinya aman tentram, sedang
para pegawainya tetap siap-siaga, karena negeri yang akan dida- tangi masih terasa asing.
Menurut cerita lain, banyak terjadi perkelahian di antara anak- anak kapal itu, tetapi oleh Bocah segala perselisihan dapat diatasi dengan baik, karena Bocah adalah seorang pemimpin yang bijak- sana.
Sudah setengah bulan lamanya Bocah beserta istrinya menga- rungi lautan, namun belum juga kelihatan pantai yang hendak di- datangi itu. Pada hari ke-16, ke-17, dan ke-18, keadaan cuaca di laut terang sekali, sehingga tepi pantai tampak di kejauhan. Diper- kirakan tiga hari lagi Jung akan sampai pada tujuannya.
Konon orang di kampung berjejal-jejal penuh sesak memper- hatikan arah ke laut, karena suatu benda sebesar kupu-kupu ke- lihatan putih-putih dan lama kelamaan makin nyata hampir se- besar Ketera2) lalu akhirnya berbentuk sebuah Jung Besar sedang berlayar menuju arah kampung mereka.
Sebuah berita tersebar di pelosok kampung, bahwa Jung Besar itu menurut perkiraan sebagian besar penghuni kampung, adalah milik Bocah. Mendengar berita itu, ibu Bocah bersiap-siap hendak menjemput kedatangan putra yang sangat dicintai dan dirindukan sepanjang masa. Kegembiraan Sang Ibu tidak terperikan lagi. Me- nurut perkiraannya, anaknya yang sudah sangat lama pergi itu, tentunya sudah mempunyai istri dan anak. Kebiasaan orang tua kalau mendengar anak cucunya mau datang, maka disediakanlah berbagai macam makanan dan kue-kue menurut kemampuannya masing-masing. Ternyata demikianlah pula yang dilaksanakan oleh ibu si Bocah.
Karena yakin akan kedatangan anaknya, maka si Ibu yang sudah sangat lanjut usianya itu lalu pergi memakai tongkat sambil men- jinjing penganan di dalam keranjang untuk diberikan pada cucu- nya.
Sauh sudah dibongkar dan Jung sudah menepi. Orang pun ba- nyak berkerumun menyaksikan Jung yang datang itu.
Seorang pria tampan diiringi seorang wanita sangat cantik, tam- paknya seperti putr i raja, bersama beberapa orang anak berderet- berjejer di atas dek paling atas tampak dengan jelas. Dan sudah nyata, bahwa pria itu adalah Bocah.
Sang Ibu yang sangat tua terhuyung-huyung mengejar anaknya seraya naik ke atas Jung sambil berteriak-teriak karena kegembira- annya, “Anakku, ibu sangat merindukan kedatangan engkau. Ibu sudah tua sekali, kedatanganmu tepat pada waktunya.” Tetapi malanglah bagi Sang Ibu karena si anak tidak mengakui ibunya, karena malu pada istrinya. Bocah lalu menyentak dengan angkuh, “Hai bedebah, jangan rapat engkau perempuan tua bangka, bi- natang keparat, aku ini bukan anakmu, ayuh pergi jauh, benci aku melihat mukamu ini. Masakan aku mempunyai ibu seperti engkau ini, perempuan tua tak tahu malu!” Bermacam-macamlah caci maki si Bocah. Akhirnya Sang Ibu mengalah lalu pergi pulang.
Peristiwa yang menyedihkan ini rupanya menyebabkan istri si Bocah merasa kasihan dan hatinya terharu lalu berkata, “Suamiku, mengapakah kanda tidak mengakui bahwa itu ibumu?” Mendengar keharuan kata-kata istrinya, maka Bocah menjadi kebingungan. Perkataannya sudah tertumbuk, Sang Ibu sudah pergi jauh dan se- ketika itu juga datanglah topan yang dahsyat. Teriakan Bocah me- manggil ibunya tidak kedengaran lagi. Bunyi petir memecah langit, seketika itu pula Jung Bocah pecah dan tenggelam sekaligus men- jadi batu. Bocah dan segenap anak kapalnya menjadi batu disum- pah oleh Sang Ibu, karena Bocah durhaka kepada Sang Ibu.
Demikianlah akhir cerita Kampung Tanjung Langkap yang me- nurut kisahnya berasal dari sebuah Jung yang tenggelam dekat Tanjung.
Sebagian penduduk berpendapat, bahwa nama Tanjung Lang- kap tidak baik, karena merupakan kampung yang telah disumpahi. Oleh sebab itulah, maka kampung tersebut diubah namanya men- jadi Tanjung Harapan, yaitu suatu kampung yang selalu menanti- kan kedatangan sang anak yang telah lama sekali mengembara dan diharapkan akan tiba membawakan gemilangnya Kampung Tan- jung Harapan itu.
Sumber : Dewan Redaksi Penerbitan Kutai, Balai Pustaka