Ruang kepala sekolah SMA Harapan Jaya adalah tempat terakhir yang harus mereka selidiki. Ruangan ini dikenal dengan atmosfernya yang tegas dan formal, mencerminkan karakter kepala sekolah mereka yang disiplin. Namun, ada cerita lama yang mengatakan bahwa ruang ini pernah menjadi tempat seorang mantan kepala sekolah ditemukan tewas karena serangan jantung. Sejak saat itu, ruangan ini dianggap angker, terutama karena sering terdengar suara ketukan atau langkah kaki meski sudah tidak ada orang di sana.
Malam ini, semua anggota tim berkumpul kembali untuk menyelesaikan misi terakhir mereka. Nisa, Gilang, Rani, Andi, Firman, Rio, dan Dita berdiri di depan pintu ruang kepala sekolah dengan perasaan campur aduk antara takut dan penasaran.
Masuk ke Ruangan
Pintu ruang kepala sekolah berderit pelan saat mereka membukanya. Ruangan itu tampak rapi, dengan meja kerja besar di tengah, rak buku di dinding, dan papan nama kepala sekolah yang bersinar di bawah sinar lampu senter mereka.
“Ini terasa… terlalu sunyi,” bisik Dita.
“Coba kita periksa mejanya,” ujar Rani, mencoba memimpin tim.
Mereka menemukan dokumen-dokumen biasa di atas meja, tetapi laci yang terkunci menarik perhatian mereka.
“Ada sesuatu di sini,” kata Gilang sambil menarik laci tersebut. “Tapi terkunci.”
Ketukan Misterius
Saat mereka mencari cara untuk membuka laci, terdengar suara ketukan dari pintu yang baru saja mereka tutup. Semua langsung membeku di tempat.
“Itu angin, kan?” tanya Rio dengan nada ragu.
Namun, ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Nisa memberanikan diri untuk membuka pintu, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
“Ini nggak masuk akal,” gumamnya sambil menutup pintu lagi.
Catatan Tua di Rak Buku
Rani menemukan sebuah buku tua di rak yang tampak berbeda dari yang lain. Ketika dia membukanya, ada catatan tangan di halaman tengah buku itu.
“Untuk membuka rahasia, cari kunci di bawah meja.”
“Ini semacam petunjuk?” tanya Rani sambil menunjukkan catatan itu.
Firman langsung memeriksa bawah meja kepala sekolah dan menemukan sebuah kunci kecil yang menempel dengan perekat.
“Gotcha!” serunya, meskipun senyumnya segera memudar ketika suara langkah kaki terdengar dari belakang mereka.
Sosok di Kursi Kepala Sekolah
Mereka semua berbalik dan melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Kursi kepala sekolah yang tadinya kosong kini diduduki oleh sesosok pria tua dengan wajah tegas. Dia mengenakan seragam kepala sekolah lama, tetapi tubuhnya tampak memudar seperti bayangan.
“Kenapa kalian di sini?” tanya pria itu dengan suara berat, matanya menatap tajam ke arah mereka.
Tidak ada yang mampu menjawab. Mereka hanya berdiri terpaku, tubuh mereka gemetar.
“Pergi… atau kalian akan tinggal di sini selamanya,” lanjut pria itu sebelum menghilang begitu saja.
Isi Laci yang Terkunci
Dengan tangan gemetar, Gilang menggunakan kunci yang mereka temukan untuk membuka laci. Di dalamnya, ada amplop besar yang tampak sudah tua.
Mereka membuka amplop itu dan menemukan foto-foto lama, termasuk foto pria yang baru saja mereka lihat di kursi kepala sekolah. Ada juga catatan tulisan tangan yang berbunyi:
“Rahasia sekolah ini harus tetap tersembunyi. Jangan biarkan siapa pun mengetahuinya.”
“Rahasia apa ini?” tanya Andi, kebingungan.
Namun, sebelum mereka bisa mencari tahu lebih jauh, semua lampu di ruangan tiba-tiba menyala, dan mereka mendengar suara sirene sekolah berbunyi dengan keras.
Melarikan Diri
Tanpa pikir panjang, mereka berlari keluar dari ruang kepala sekolah. Namun, koridor yang biasanya mereka lewati kini tampak berbeda. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan coretan tangan seperti bekas cakaran, dan bayangan-bayangan gelap tampak mengikuti mereka.
“Ke pintu keluar! Sekarang!” teriak Gilang.
Mereka berlari secepat mungkin menuju pintu keluar sekolah. Saat mereka berhasil keluar, sirene berhenti, dan suasana kembali sunyi seperti biasa.
Namun, ketika mereka melihat ke arah ruang kepala sekolah dari luar, mereka melihat pria tua itu berdiri di jendela, menatap mereka dengan senyum dingin.