Lapangan futsal SMA Harapan Jaya menjadi pusat kegiatan olahraga setiap harinya. Namun, saat malam tiba, suasana lapangan berubah drastis. Tidak ada lampu terang atau sorak-sorai siswa. Yang tersisa hanyalah lapangan kosong yang diterangi bulan, dikelilingi oleh deretan pohon tinggi yang membuat angin berdesir seolah berbisik.
Kisah tentang lapangan futsal ini sudah lama dikenal. Banyak siswa yang mengaku melihat jejak kaki basah yang muncul di permukaan lapangan, meskipun malam itu cuaca cerah tanpa hujan. Malam ini, giliran Bagas, Lila, dan Rendi untuk menyelidiki tempat tersebut.
Awal Penyelidikan
“Serius nih, kita harus ke lapangan? Kan nggak ada apa-apa di sana,” keluh Bagas sambil menyeret langkahnya.
“Kak Dinda yang bilang. Katanya lapangan ini salah satu tempat dengan cerita seram paling banyak di sekolah,” jawab Lila sambil memegang senter kecil.
Rendi hanya diam, mengamati sekitar dengan cermat. Dia dikenal sebagai orang yang paling skeptis di kelompoknya, tapi malam ini wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.
Ketika mereka tiba di lapangan, semuanya terlihat normal. Rumput sintetis yang digunakan masih rapi, dan garis putih pembatas lapangan masih jelas terlihat. Namun, suasana aneh mulai terasa.
“Kenapa lapangan ini rasanya… lebih dingin dari biasanya?” tanya Lila sambil memeluk tubuhnya sendiri.
“Mungkin angin. Atau kamu terlalu banyak mikir cerita horor,” jawab Bagas dengan santai, meskipun dia sendiri tampak tidak tenang.
Jejak Kaki yang Tidak Biasa
Ketiganya mulai berjalan di sekitar lapangan, memastikan tidak ada yang aneh. Namun, ketika mereka mendekati tengah lapangan, Rendi berhenti mendadak.
“Tunggu. Lihat itu,” katanya sambil menunjuk permukaan rumput sintetis.
Di sana, terlihat jejak kaki basah yang memanjang dari sisi lapangan menuju ke gawang. Jejak itu jelas terlihat, meskipun tidak ada air atau tanda-tanda hujan.
“Siapa yang barusan lewat sini?” tanya Bagas, mencoba mencari penjelasan logis.
“Lapangan ini terkunci. Cuma kita yang diizinkan masuk malam ini,” jawab Lila dengan suara gemetar.
Jejak kaki itu tidak berhenti di gawang. Sebaliknya, jejak tersebut mengarah ke luar lapangan, ke arah tribun penonton yang kosong.
Suara dari Tribun
Mereka bertiga mengikuti jejak itu dengan hati-hati. Ketika sampai di tribun, mereka mendengar suara gemerisik dari atas. Seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di bangku tribun.
“Ada orang di atas?” tanya Rendi sambil menyinari tribun dengan senter. Namun, tribun itu kosong.
Ketika mereka mulai melangkah mendekat, suara langkah kaki berubah menjadi suara bola yang dipantulkan. Suara itu berasal dari tengah lapangan, tempat mereka sebelumnya berdiri.
“Tadi nggak ada bola di sana, kan?” tanya Bagas, wajahnya mulai pucat.
Ketika mereka menoleh, sebuah bola futsal terlihat tergeletak di tengah lapangan, meskipun tidak ada yang membawa bola saat mereka masuk.
Bayangan di Gawang
Lila menjerit kecil ketika melihat sesuatu yang lebih aneh. Di dekat gawang, terlihat bayangan samar seseorang berdiri diam, tubuhnya tinggi dan kurus. Bayangan itu hanya terlihat sesaat sebelum menghilang begitu saja.
“Kita keluar sekarang juga!” desak Lila sambil menarik tangan Bagas.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, bola futsal di tengah lapangan mulai bergerak sendiri. Bola itu perlahan menggelinding ke arah mereka, berhenti tepat di kaki Rendi.
“Ini nggak mungkin,” bisik Rendi, wajahnya tegang.
Bola itu tiba-tiba terpantul keras ke arah tribun, memantul-mantul tanpa kendali. Suara pantulannya terdengar lebih keras dari seharusnya, seperti memantul di ruangan tertutup.
Pelarian yang Panik
Ketiganya langsung berlari keluar lapangan tanpa berpikir panjang. Saat mereka sampai di gerbang, mereka mendengar suara tawa pelan dari arah tribun. Ketika mereka menoleh, tribun itu kosong, tapi jejak kaki basah yang mereka lihat tadi kini mengarah ke pintu keluar lapangan, seolah-olah sesuatu atau seseorang sedang mengikuti mereka.