Bab 3: Kisah Guru Hilang di Ruang Seni
SMA Harapan Jaya tidak hanya terkenal dengan sejarah panjangnya, tetapi juga dengan ruang seni yang penuh karya siswa—lukisan, patung, dan karya instalasi yang memenuhi dinding dan sudut ruangan. Namun, di balik keindahan itu, ruang seni menyimpan cerita kelam yang hanya dibisikkan oleh para siswa berani. Salah satu cerita yang paling sering disebut adalah tentang seorang guru seni bernama Pak Rudy, yang konon menghilang secara misterius beberapa tahun lalu.
Malam itu, kelompok yang terdiri dari Arya, Siska, dan Rani ditugaskan untuk menjelajahi ruang seni. Awalnya, mereka merasa antusias, tetapi setelah mendengar cerita dari Farah dan Bima tentang pengalaman aneh mereka, suasana hati mereka berubah menjadi penuh ketegangan.
Mencari Inspirasi di Ruang Seni
“Kalau aku jujur, ruang seni itu seru, tapi malam-malam begini rasanya beda,” kata Rani sambil merapatkan jaketnya.
“Jangan paranoid dulu. Ini cuma ruangan biasa, kok,” jawab Arya mencoba menyemangati.
Ketiganya masuk ke ruang seni. Aroma khas cat minyak dan kayu terpancar kuat, membuat Rani langsung mengernyitkan hidung. Lukisan-lukisan besar tergantung di dinding, beberapa di antaranya cukup suram dengan warna gelap dan tema abstrak.
Siska, yang senang dengan seni, langsung mendekati sebuah patung kayu yang bentuknya menyerupai seorang pria sedang berdiri. Patung itu dipahat begitu detail sehingga terlihat seperti manusia sungguhan.
“Ini karya siapa, ya?” tanya Siska sambil memandangi patung itu. Tapi, tidak ada plakat nama yang terpasang.
Cerita tentang Pak Rudy
Saat mereka mulai mencatat tentang berbagai karya di ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki pelan di belakang mereka. Arya menoleh cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana.
“Kalian dengar itu?” tanya Arya.
“Kedengarannya dari arah lorong,” jawab Rani. “Mungkin cuma suara orang lewat.”
Namun, suasana menjadi lebih tegang ketika mereka melihat sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding belakang. Lukisan itu menggambarkan seorang pria dengan wajah yang samar, matanya seperti menatap langsung kepada siapa pun yang melihatnya.
“Ini pasti Pak Rudy,” bisik Siska.
“Pak Rudy siapa?” tanya Arya.
“Guru seni yang dulu pernah mengajar di sini. Katanya dia menghilang di ruang seni ini waktu malam hari. Enggak ada yang tahu ke mana dia pergi,” jelas Siska.
Rani langsung menelan ludah. “Terus kenapa lukisan dia masih ada di sini? Itu nggak masuk akal!”
Penampakan di Ruangan
Saat mereka mencoba untuk menjauh dari lukisan itu, tiba-tiba lampu ruangan berkedip-kedip. Patung kayu yang tadi dilihat Siska bergeser sedikit, meskipun tidak ada angin atau alasan logis.
“Mungkin gempa kecil?” kata Arya mencoba menenangkan diri, meskipun suaranya terdengar gemetar.
Namun, patung itu benar-benar bergerak kali ini—kepalanya sedikit miring ke arah mereka, seolah sedang memandang langsung ke arah Rani. Siska menjerit, dan ketiganya mundur ke arah pintu.
“Keluar! Cepat keluar!” teriak Arya sambil mencoba membuka pintu, tetapi pintu itu tidak mau terbuka.
Di sudut ruangan, lukisan Pak Rudy tampak semakin hidup. Wajahnya yang samar mulai menunjukkan senyuman menyeramkan. Suara langkah kaki di lorong semakin keras, mendekat ke arah mereka.
Meninggalkan Ruang Seni
Akhirnya, Rani berhasil membuka pintu dengan tenaga penuh, dan mereka bertiga langsung berlari keluar. Nafas mereka tersengal, dan mereka tidak berani menoleh ke belakang.
“Ruang seni itu enggak normal. Ada sesuatu yang salah!” seru Siska saat mereka kembali ke aula.
Namun, sebelum mereka bisa menjelaskan semuanya kepada Kak Dinda, mereka mendengar suara tawa kecil dari arah aula. Tawa itu tidak berasal dari siswa mana pun, tetapi terdengar berat dan serak, seperti milik seorang pria dewasa.