Bab 2: Suara Aneh dari Ruang Musik
Kepanikan masih terasa di antara Farah, Raka, dan Nina setelah mereka kembali ke aula. Wajah mereka pucat, dan napas tersengal-sengal seperti habis berlari maraton. Ketika Kak Dinda bertanya apa yang terjadi, mereka hanya menggeleng, terlalu takut untuk menceritakan apa yang mereka alami di lapangan.
Di sisi lain, kelompok siswa lain yang terdiri dari Bima, Laila, dan Toni mendapat tugas untuk menyelidiki ruang musik. Awalnya, mereka mengira ini adalah tugas yang mudah. Bagaimanapun, ruang musik adalah salah satu tempat favorit siswa karena berisi berbagai alat musik modern dan tradisional. Tidak ada yang menduga bahwa malam itu, ruang musik menyimpan misteri yang berbeda.
Menuju Ruang Musik
Bima memimpin jalan menuju ruang musik yang berada di gedung barat sekolah. Gedung itu memiliki reputasi sebagai bangunan tertua di SMA Harapan Jaya, dengan arsitektur klasik yang sudah jarang terlihat.
“Kenapa sih harus ruang musik? Kalau mau cari cerita menarik, mending perpustakaan lama,” keluh Toni sambil mengantongi tangannya.
“Ruang musik juga menarik. Kita bisa bahas sejarah alat musik tradisional yang ada di sini,” jawab Laila sambil memegang buku catatannya.
Namun, saat mereka mendekati pintu ruang musik, Bima berhenti mendadak. “Dengar nggak?” tanyanya dengan suara pelan.
Laila dan Toni terdiam. Dari dalam ruangan terdengar suara piano yang dimainkan, meskipun mereka tahu pasti tidak ada orang lain di sana.
Memasuki Ruangan
Dengan sedikit ragu, Bima mendorong pintu ruang musik. Pintu itu terbuka dengan suara berderit yang mengerikan. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar di sudut ruangan.
Piano di tengah ruangan tampak berkilau dalam cahaya remang-remang. Namun, tidak ada siapa pun yang duduk di depannya. Suara piano tiba-tiba berhenti, meninggalkan keheningan yang tidak wajar.
“Siapa tadi yang main?” bisik Laila sambil berpegangan pada lengan Toni.
“Enggak ada siapa-siapa,” jawab Bima.
Mereka melangkah lebih dalam, dan tiba-tiba terdengar suara gesekan biola yang sumbang dari arah rak alat musik. Ketiganya serempak menoleh.
Sosok di Sudut Ruangan
Ketika mereka menyorotkan senter ke arah rak, mereka melihat sosok seperti bayangan tipis yang bergerak di antara alat musik. Laila menjerit kecil, dan Toni hampir menjatuhkan ponselnya.
“Ssst, jangan panik,” bisik Bima meskipun suaranya juga terdengar gemetar.
Namun, bayangan itu mendadak berhenti bergerak dan menatap mereka. Wajahnya samar, hanya berupa garis-garis buram seperti sketsa yang belum selesai. Dengan cepat, bayangan itu menghilang ke arah piano.
Piano kembali berbunyi, kali ini dengan irama yang lebih cepat dan kacau. Seolah-olah tangan-tangan tak terlihat sedang menekan tuts dengan amarah.
Melarikan Diri
Tanpa berpikir panjang, ketiganya langsung lari keluar dari ruang musik. Mereka tidak peduli lagi tentang tugas atau laporan yang harus mereka buat. Laila menangis ketakutan, sementara Toni terus melihat ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.
“Gila, tadi apa itu?” seru Bima saat mereka akhirnya sampai di aula, bergabung dengan kelompok Farah.
Namun, sebelum mereka bisa menjelaskan, sebuah suara aneh terdengar dari aula—seperti suara alat musik tradisional yang dimainkan dengan tempo lambat. Semua siswa terdiam, saling pandang dengan wajah penuh kebingungan dan ketakutan.