Mereka berniat untuk menghentikan gangguan makhluk-makhluk ini sekali dan untuk selamanya. Mereka bertekad untuk menemukan titik akhir dari semua misteri yang mengerikan ini. Mereka memperhatikan bahwa semua penampakan itu sepertinya saling berhubungan, dan entah bagaimana, semuanya bermula dari sebuah peristiwa tragis di masa lalu sekolah ini.
Kembali ke gedung sekolah, mereka menyelinap masuk ke ruang arsip sekolah, tempat di mana semua catatan masa lalu disimpan. Mereka akhirnya menemukan sebuah buku besar yang berjudul “Sejarah SMA Harapan Bangsa”. Buku itu tampak tua dengan halaman yang mulai menguning.
Saat membolak-balik halaman, mereka menemukan catatan tentang kebakaran besar pada tahun 1980-an yang terjadi di gedung sekolah saat malam HUT sekolah. Ternyata, sosok-sosok hantu yang mereka lihat adalah korban kebakaran tersebut, termasuk seorang guru dan beberapa siswa yang terperangkap di dalam gedung dan tidak pernah ditemukan.
“Jadi… mereka memang mati di sini dan arwah mereka terperangkap,” gumam Raka merasa lega karena menemukan jawaban.
Dengan pengetahuan itu, mereka mencari cara untuk melakukan ritual pembebasan arwah. Mereka mendatangi tempat kejadian kebakaran di gedung utama, membawa lilin dan bunga sesuai dengan petunjuk dari buku tersebut.
Malam itu, mereka berkumpul di tempat kebakaran terjadi, menyalakan lilin dan mulai membaca doa-doa pembebasan arwah yang mereka temukan di catatan lama. Seiring dengan tiap kata yang mereka ucapkan, mereka merasakan udara di sekitar mereka mulai berubah. Dingin yang menusuk hilang, digantikan oleh hangatnya cahaya lilin. Bayangan-bayangan mulai muncul di sekitar mereka, tetapi kali ini, wajah mereka tidak lagi menakutkan. Mereka melihat gadis tanpa mata, pria dengan rantai, dan guru dengan pakaian yang tercabik-cabik.
“Waktunya pulang,” bisik Dina dengan lembut, namun suaranya terdengar jelas dalam keheningan malam.
Arwah-arwah itu mendekat, berdiri dengan wajah tenang di dekat lilin yang menyala. Mereka mengangguk pelan, seakan-akan mengucapkan terima kasih. Sosok pria tanpa kulit yang mereka lihat di lorong bawah tanah pun muncul, berjalan lambat namun pasti menuju cahaya lilin.
Satu demi satu, arwah-arwah itu mulai memudar, meninggalkan senyuman di wajah mereka yang penuh luka. Cahaya lilin semakin terang hingga akhirnya menghilang bersamaan dengan sosok terakhir. Kami tak dapat berkata apa-apa, hanya berdiri di sana dengan hati yang penuh kelegaan dan sedikit air mata.
“Kita berhasil,” bisik Sari sambil menggenggam tangan Bimo.
Mereka melangkah keluar dari gedung dengan perasaan lega, mengetahui bahwa mereka telah membantu arwah-arwah yang terperangkap untuk menemukan kedamaian.