Malam berikutnya, mereka kembali menyelidiki, kali ini menuju lorong bawah tanah yang tersembunyi di balik pintu yang jarang dibuka di ruang olahraga. Pintu itu terlihat berat dan penuh debu, menunjukkan bahwa tempat itu sudah lama tidak dibuka.
“Dorong bareng-bareng, pasti bisa!” seru Raka saat mereka berusaha keras membuka pintu tersebut.
Dengan sekuat tenaga, pintu itu akhirnya terbuka dengan dentingan keras. Di balik pintu itu, lorong yang gelap dan penuh kelembapan menyambut mereka. Dengan perasaan merinding, mereka berjalan menyusuri lorong gelap itu, dan tiba-tiba mendengar suara rantai yang diseret-seret.
“A… apa itu?” tanya Dina dengan suara gemetar.
“Jangan bilang ada penjara bawah tanah di sini,” jawab Bimo dengan nada tak percaya.
Mereka berhenti sejenak, berpikir itu mungkin hanya halusinasi karena ketakutan mereka sendiri. Tetapi, suara itu semakin mendekat dan mereka melihat sosok pria dengan pakaian jaman dulu, wajahnya tertutup oleh rambut panjang yang kusut. Sosok itu menyeret rantai dengan tangan yang berlumuran darah.
Sari menjerit dan pria itu menoleh ke arah mereka, memperlihatkan wajah yang sama sekali tanpa kulit, hanya daging dan otot yang terpapar. Mata kosongnya menatap tajam ke arah mereka, seakan memohon pertolongan.
“Kita perlu pergi dari sini sekarang!” teriak Raka dengan panik.
Mereka segera berlari ke arah pintu keluar, tetapi lorong seakan tambah panjang dan sulit dilalui. Seakan-akan lorong tersebut tidak ingin mereka keluar. Akhirnya, mereka menemukan sebuah tangga dan buru-buru naik, keluar dari lorong menyeramkan itu. Mereka tak bisa mempercayai apa yang baru saja dialami.
“Kenapa semakin lama sepertinya semakin menakutkan?” kata Dina dengan napas terputus-putus.