Aku ingat betul hari itu, saat langit mendung kelabu seolah ikut memantulkan perasaan kalutku. Dulu, aku sangat dekat dengan Rani, teman sebangkuku. Kami selalu bersama, berbagi rahasia, tawa, dan tangis. Kami seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Suatu siang, Rani mengajakku ke perpustakaan setelah pulang sekolah. Dengan semangat, aku mengikuti ajakannya. Sesampainya di perpustakaan, Rani mengajakku ke sudut yang sepi. Di sana, dengan suara berbisik, ia mulai menceritakan sebuah rahasia besar.
“Aku suka banget sama kamu, (namamu),” ujarnya sambil memerah. Aku tertegun. Tak pernah terpikir olehku kalau Rani menyimpan perasaan seperti itu padaku. Jantungku berdebar kencang, antara senang dan bingung.
Hari-hari berikutnya, Rani semakin gencar menunjukkan perasaannya. Ia memberikan hadiah kecil, menuliskan surat cinta, bahkan mengajakku berkencan. Aku pun mulai merasakan ketertarikan padanya. Namun, ada sedikit keraguan di dalam hatiku.
Suatu hari, aku tanpa sengaja mendengar percakapan Rani dengan teman-temannya. Mereka sedang tertawa terbahak-bahak sambil membahas tentang aku. Ternyata, semua yang dilakukan Rani hanyalah sebuah taruhan. Mereka ingin melihat sejauh mana aku akan terpengaruh oleh rayuan Rani.
Rasanya seperti dunia runtuh seketika. Hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa sangat bodoh dan dipermainkan. Aku tidak menyangka bahwa sahabatku sendiri tega melakukan hal seperti itu padaku.
Setelah kejadian itu, aku menjauhi Rani. Aku sulit mempercayai orang lagi. Rasa sakit dan kecewa masih terus menghantui pikiranku. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai belajar untuk memaafkan. Aku sadar bahwa tidak semua orang seberuntung aku memiliki teman yang tulus.
Pengalaman pahit itu mengajariku banyak hal. Aku belajar untuk lebih berhati-hati dalam memilih teman, tidak mudah percaya pada orang lain, dan lebih menghargai diri sendiri. Aku juga belajar bahwa persahabatan yang sejati itu dibangun di atas dasar kejujuran dan saling percaya.