Di puncak sebuah bukit yang jauh dari pemukiman penduduk di Kalimantan Barat, tinggal seorang ibu bersama anak perempuannya. Suaminya telah meninggal lama tanpa meninggalkan warisan yang berarti. Kehidupan sebagai janda di usia yang sudah cukup tua tidak memberi banyak pilihan pada ibu. Ia tidak mungkin menikah lagi, sehingga ibu harus mencari nafkah sendiri untuk menyokong anak perempuannya yang bernama Darmi.
Setiap hari, ibu bekerja keras di kebun sayur sejak pagi buta: menanam bibit, menyiram, memberi pupuk, menyiangi semak, memanen, dan menjual hasil panen ke pasar. Selain itu, ia juga harus mengurus anak yang masih kecil dan mencari kayu bakar untuk memasak. Kulit ibu yang dulunya cerah mulai menggelap karena terpapar sinar matahari, dan berat badannya mulai menyusut karena kurangnya waktu untuk diri sendiri.
Harapan ibu adalah agar Darmi bisa hidup bahagia, berbeda dengan dirinya.
Karena itu, Darmi dimanja dengan penuh kasih sayang. Darmi tumbuh menjadi gadis cantik dengan kulit kuning langsat, tubuh semampai, dan rambut hitam panjang yang mengkilap.
Ia selalu mengenakan pakaian indah dan aksesori mentereng, berbeda dengan ibunya yang sudah lama tidak membeli barang untuk dirinya sendiri karena menganggap dirinya sudah tua.
Namun, Darmi masih muda dan suka bergaul. Ia senang bila dibelikan barang-barang baru dan selalu menghabiskan waktu untuk mengagumi dirinya sendiri, sedangkan ibunya bekerja keras di kebun.
Suatu hari, ibu lupa mengantar pesanan sayur ke pelanggan di desa. Ia meminta tolong Darmi untuk memasak, namun Darmi malah sibuk dengan dirinya sendiri.
Ketika ibu pulang dan menemukan Darmi masih bersolek, Darmi malah geram karena merasa ibu mengganggunya. Akhirnya, ibu yang harus memasak dan membersihkan kamar Darmi.
Darmi semakin terbiasa untuk tidak melakukan pekerjaan rumah tangga sama sekali. Saat ia menginginkan sesuatu, ia akan merengek hingga mendapatkannya, bahkan jika ibu tidak memiliki uang, Darmi akan marah besar. Hal ini membuat ibu sedih dan seringkali menguras tabungannya untuk memenuhi keinginan Darmi.
Pada suatu hari, sisir Darmi patah dan membuatnya uring-uringan. Ia ingin mendapatkan sisir baru yang lebih cantik, namun Darmi tidak percaya selera ibunya dan memutuskan untuk pergi ke pasar sendiri.
Di perjalanan ke pasar, Darmi lebih memilih untuk meninggalkan ibunya dan bertemu teman-temannya, sehingga saat ibu bertanya tentang teman yang dia ajak bicara, Darmi memperkenalkan ibu sebagai pembantunya.
Kekecewaan ibu semakin bertambah, namun ia terus menahan diri dan akhirnya membiarkan Darmi menghabiskan uang yang sudah ia berikan. Ketika Darmi bertemu dengan sekelompok pemuda di pasar, ibu khawatir akan keselamatan putrinya dan mengikuti dari belakang untuk menjaganya.
Namun, kelakuan Darmi semakin membuat ibu tersakiti, terutama ketika Darmi menganggap remeh status ibunya di depan orang lain. Akhirnya, dalam kesedihan dan kelelahan, ibu menangis memohon pertolongan Tuhan untuk mengakhiri penderitaannya.
Kemudian, Tuhan mengabulkan doa ibu dengan mengutuk Darmi. Darmi pun berubah menjadi batu, dan meskipun ia masih bisa menangis dari dalam batunya, ia menjadi tontonan di tebing sebagai pelajaran bagi yang lain.
Moral dari kisah Batu Menangis adalah pentingnya menghormati orang tua dan menghargai segala sesuatu yang telah diberikan oleh mereka, serta tidak mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan hati.