Pada zaman dahulu, hiduplah seorang laki-laki yatim piatu dengan neneknya yang tinggal di pondok ladang. Sejak ibu bapaknya meninggal kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Ia tinggal bersama neneknya di sebuah gubuk berbilik bambu di ladang yang ada di lereng bukit di daerah Bengkulu Selatan. Tempat itu jauh dari perkampungan orang banyak. Di tengah dan di beberapa sudut ladang ada beberapa pohon yang dibiarkan tumbuh untuk peneduh. Pohon-pohon itu pun digunakan oleh sang Piatu untuk mengikat tiang pancang baling-baling bambu yang senantiasa berputar menantang angin kencang.
Pondok bambu dan ladang itu dikelilingi hutan yang masih ditumbuhi berbagai jenis pohon besar yang dahannya menjulur lebar disertai daunnya yang lebat bergumpal-gumpal. Beberapa pohon besar, batangnya ditumbuhi kedaka yang tumbuh bersusun berundak- undak. Batang-batang rotan pun tumbuh subur menjulur bersilangan dari satu pohon ke pohon yang lain.
Kini usia sang Piatu menginjak lima belas tahun. Setiap hari ia belajar salat dari neneknya. Ia pun diajari bertani dan berdagang hasil kebun sedikit demi sedikit.
Dalam berhitung dagang, harga barang hasil berkebun setiap biji atau setiap ikatnya disesuaikan dengan pecahan uang yang ada pada zaman itu. Misalnya, satu ikat sayur satu rupiah, satu ikat ubi lima rupiah, dan sebuah durian sepuluh rupiah. Ia hanya bisa berhitung dengan menghafal bentuk, rupa, dan jenis pecahan uang yang ada. Harga seluruh dagangannya tidak pernah lebih dari lima puluh rupiah saja setiap harinya.
Penulis : Halimi Hadibrata Penyunting : Suladi
Ilustrator : Gian Sugianto
Penata Letak : Asep Lukman Arif Hidayat
Diterbitkan pada tahun 2016 oleh
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun Jakarta Timur