GUNUNG SELO’KAN (SOROKAN)

Oleh   A. Soebli Arief

Pada   masa   tanah  Kutai  diperintah  oleh Meruhum   Surga   Ta- nah, konon Gunung Sorokan  yang penulis kisahkan di bawah ini masih merupakan sebuah perkampungan.  Kampung tersebut  ber- nama kampung Selo’kan dan sebagai mantiknya (mantik = tetua kampung)  ialah Patih [dan. Kampung  Selo’kan  hanya terdiri dari dua buah lamin seperti lazimnya perkampungan suku Dayak.

Pada suatu masa, Meruhum  Surga Tanah,  pergi meninjau kam- pung Selo’kan untuk melihat keadaan rakyatnya dari dekat. Se- sampainya di kampung  Selo’kan setelah melihat-lihat  keadaan rakyat, maka kepada Patih Idan diperintahkan agar rakyatnya membuat lunas (sampan) untuk Meruhum. Perintah Meruhum lalu ditaati mereka.

Alkisah selesailah lunas tersebut dan oleh Patih Idan langsung disampaikan kepada Meruhum. Setelah itu Meruhum minta dibuat- kan sebuah lagi. Maka rakyat pun bergegas membuatnya, mentaati perintah Meruhum. Maka ditebanglah kayu untuk membuat lunas tersebut. Karena kayu yang ditebang itu kebetulan  berdekatan  de- ngan lunas yang dibuat  pertama,  maka ketika  rebah,  terkenalah lunas tersebut dan langsung belah.

Agar Meruhum tidak mengetahui  dan tidak gusar akan hal itu, maka segera Patih Idan menyuruh  dibuatkan  gantinya.  Tidak be- rapa lama selesailah   kedua  lunas itu,   yang kemudian  oleh   Patih Idan dipersembahkan kepada Meruhum. Rupanya Meruhum masih belum puas menerima kedua lunas persembahan Patih Idan itu. Diperintahnya  lagi agar rakyat  Gu- nung Selo’kan dapat menghidupkan  api dalam air. Mendengar pe- rintah Meruhum demikian, terpikirlah oleh Patih Idan, bahwa pe- rintah itu tidak akan ményelamatkan rakyat. Maka Patih Idan menjawab, bahwa perintah itu di luar kodrat kemampuan dan akal manusia. Mendengar jawaban  Patih Idan itu, gusarlah Meruhum. Patih Idan dan rakyat kampung Gunung Selo’kan hanya menanti- kan, apa tindakan Meruhum selanjutnya setelah ia meninggalkan kampung Gunung Selo’kan dengan kemurkaannya. Ketika hendak meninggalkan kampung Gunung Selo’kan, Meruhum Surga Tanah berkata kepada rakyat, rasakan saja nanti tindakan selanjutnya. Alkisah menurut cerita, sesampainya  Meruhum  di   Tenggarong, maka disiapkan para sepangannya. Pada waktu itu belum ada bala- tentara seperti sekarang untuk menyerang kampung Gunung Selo’- kan. Maka berangkatlah suku-suku Bugis yang menjadi sepangan bersama-sama dengan Meruhum.


Baca juga : Bencana di Pulau Seberang

Sesampainya  di kampung Gunung Selo’kan, terjadilah peperang- an antara rakyat Gunung Selo’kan melawan Meruhum Surga Tanah bersama sepangannya. Karena perlawanan tidak seimbang, maka musnalah kampung Gunung Selo’kan  bersama rakyatnya.  Terke- cuali patih Idan dan tiga orang anaknya, seorang di antaranya pe- rempuan  sedang naik dara, sedang dua orang lainnya  adalah   anak laki yang masih kecil-kecil, sempat  melarikan   diri.   Istri Patih Idan pun tewas dalam pertempuran tersebut.

Sementara Meruhum Surga Tanah bersama sisa sepangannya kembali ke Tenggarong dengan kemenangannya,  Patih Idan dan ketiga orang anaknya terus melarikan diri ke dalam hutan.  Sesam- painya di suatu hutan  yang dirasakan aman, dibuatlah  pondok untuk  tempat  tinggal. Karena persediaan bahan makanan  turut musna dalam pertempuran,  maka pergilah Patih Idan berburu  de- ngan meninggalkan ketiga orang anaknya bermain-main di sekitar pondok mereka. Selang beberapa lama mereka bermain, tiba-tiba anaknya yang perempuan  melihat musang  putih.  Maka ditangkap- lah musang tersebut, kemudian  dimasak untuk  dimakan.  Untuk ayah mereka ditinggalkan sepotong.

Menjelang senja kembalilah Patih   Idan sambil membawa  bebe- rapa ekor binatang hasil buruannya. Sesampai di dekat  pondok, alangkah terkejut  Patih Idan melihat  pondoknya  tak ada lagi di situ.   Bekas-bekasnya pun tak terlihat. Anaknya yang tiga orang itu pun tidak  kelihatan. Terpikir  oleh Patih Idan mungkin  ia sesat, tetapi  mustahil karena kayu-kayu yang tumbuh di sekitar pondok- nya tidak berubah.

Berteriaklah Patih Idan memanggil anaknya. Maka menyahutlah anaknya yang perempuan.  Mendengar sahutan  anaknya  itu Patih Idan bertanya, “Dimana?” “Di pondok,” jawab anaknya yang perempuan.

“Mengapa aku tidak melihat pondok itu lagi,”, kata Patih Idan. “Mustahil,” kata anaknya,  “pondok itu tetap  di situ-situ juga.”

“Kalau begitu apakah  gerangan yang terjadi  sepeninggalku tadi,” tanya Patih Idan.

“Tidak apa-apa,” kata anak-anaknya,  “hanya  tadi kami men- dapat musang  putih.  Karena kami lapar, musang putih  itu kami masak dan kami makan.”

Terpikirlah oleh Patih Idan,  mungkin  akibat  musang putih  itu- lah maka terjadi hal seperti sekarang ini. Bertanyalah ia pada anak- nya, “Apakah anak melihat diri ayah!”  “Melihat, bukankah  ayah berdiri di situ,” jawab anaknya sambil menunjuk  arah ayahnya berdiri.

“Kalau begitu, adakah sisa musang putih  itu lagi,” tanya Patih Idan.

“Ada,” sahut anaknya, “kami tinggalkan sepotong untuk ayah.” “Coba masukkan ke mulutku,”  kata Patih Idan. Maka dimasuk- kanlah ke mulut Patih Idan sepotong daging musang putih oleh anaknya. Setelah termakan  daging musang putih  itu, maka terlihat- lah pondok dan ketiga anak-anaknya. Sejak itulah Patih Idan ber-gaib di Gunung Selo’kan.


Baca juga : Nastar Salak Ajaib

Menurut cerita, mereka yang bertuah kadang-kadang bisa men- dengar suara orang berdendang di situ. Diduga Patih Idan dan anak-anaknya yang bergaib itu hidup  berkembang  hingga di Gu- nung Selo’kan itu seolah-olah terdapat  perkampungan  gaib. Di samping orang bisa mendengar  suara-suara aneh, kadang-kadang mereka  melihat pula   semacam   telaga   tempat  orang-orang   mandi dan taman bunga anggrek yang indah tiada tara.

Gunung itu bernama Gunung  Selo’kan,  karena jalan-jalan di gunung  itu berbelit-belit, selok-menyelok. Adapun jalan-jalan yang dimaksud di sini ialah bagian-bagian tanah yang tidak ditum- buhi pepohonan dan bunga-bunga anggrek. Kemudian  dalam se- butan sehari-hari nama Gunung Selo’kan itu berubah  menjadi  Gu- nung Sorokan, hingga terlupakan nama asalnya.

Sumber : Dewan Redaksi Penerbitan Kutai, Balai Pustaka

Berdiri sejak 2017, Busa Pustaka hingga saat ini telah memberikan akses baca hingga ribuan anak di Provinsi Lampung. Berawal dari tak sampai sepuluh buku dan saat ini memiliki koleksi ribuan buku anak yang terus ingin ditambah demi memfasilitasi banyak anak membaca.

Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

Scroll to Top