Menggapai Bintang

Oleh Kak Deny Lestiyorini

Sudah tiga jam sejak terjaga dari jam 1 dini hari, mataku tidak dapat terpejam kembali. Aku sudah beberapa kali mengganti posisi tidur tapi makin membuat badan pegal. Mungkin pengaruh tempat tidur, yang lebih pantas disebut dipan. Terbuat dari papan kayu yang hanya beralaskan tikar butut. Jika tikarnya lama tidak dijemur atau diangin-anginkan, akan ada kutu yang menempel dan kalau menggigit, rasanya jauh lebih sakit dibandingkan digigit semut merah. Panas dan meninggalkan bekas yang membiru.

Akhirnya aku pasrah di posisi yang paling nyaman, yaitu telentang. Telingaku mendengarkan suara embun yang menetes dari daun dan jatuh membasahi rumput. Terdengar syahdu. Mataku lekat memandang atap rumah yang terlihat lubang di sana-sini sehingga kalau hujan datang, banyak air yang menetes masuk rumah lewat celah di atap dan membasahi lantai rumah yang terbuat dari tanah.

Biasanya aku dan Emak akan sibuk menaruh baskom atau ember kecil untuk menampung air yang masuk ketika hujan deras datang agar tidak terjadi genangan air yang bisa menyebabkan banjir kecil di rumah kami yang juga mungil ini.

Sebenarnya ada sesuatu yang sedang kupikirkan. Membuat hatiku gelisah dan tidak tenang. Tapi aku tidak bisa mengatakannya pada Emak, satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini sejak Bapak meninggal 2 tahun yang lalu karena sakit radang paru-paru. Teringat Bapak, aku jadi kangen. Biasanya aku bercerita semua hal pada Bapak, ketika malam menjelang, sambil memandang langit. Dari masalah sepele, seperti ketika aku terjatuh saat belajar memanjat pohon kelapa sampai masalah di sekolah, ketika aku dihukum oleh Pak Paijo, guruku karena aku menyembunyikan pensil teman sebangku sampai dia menangis. Bapak tidak pernah bosan mendengarkan semua celotehanku. Seringkali aku mengulang bercerita hal yang sama. Tapi Bapak tidak pernah menegurku. Satu hal yang biasanya aku ucapkan berulang, yaitu cita-cita yang ingin menjadi guru dan punya sekolah sendiri yang tidak memungut biaya untuk belajar alias gratis. Bapak selalu tersenyum melihat aku mengatakan dengan mata berbinar dan penuh keyakinan. Kemudian tangan yang tak pernah lelah menggarap sawah milik juragan dan diberi imbalan yang kecil itu, mengelus kepalaku berulang lalu memelukku. Seolah memberiku kekuatan dan restu untuk bisa mewujudkan impian. Lalu aku dan Bapak sama-sama menatap langit, menghitung bintang dan menitipkan cita-citaku pada salah satu bintang yang sinarnya paling terang. Bintang itu kuberi nama Ratih, seperti namaku. Ratih yang berarti kegembiraan, berharap suatu saat nanti aku bisa memberikan kegembiraan untuk semua orang.

Sayup terdengar suara azan shubuh dari pengeras suara yang terpasang di musholla desa yang terletak tak jauh dari rumahku. Menyadarkan lamunanku tentang Bapak. Aku menyeka air yang mengalir dari sudut mata. Air mata kangen. Sudah lama berlalu, tapi rasa ini selalu meninggalkan sakit di hati. Kehilangan yang sangat membekas.

baca juga : cerita rakjyat lainnya

Aku bangun dan melihat Emak masih terlelap di sampingku. Kupandangi sejenak wajah cantik Emak yang terlihat lelah karena bekerja di sawah dan terkena sinar matahari sepanjang hari. Kuseret langkah menuju sumur untuk mengambil air wudhu. Udara dingin menyapa wajah ketika aku membuka pintu belakang rumah yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut gedheg. Kuhirup udara segar pagi hari sebanyak mungkin untuk melonggarkan dadaku dari rasa sesak karena kangen. Kulepas sandal untuk merasakan dingin embun yang menempel di rumput. Aku berdiri dan merentangkan kedua tangan mungilku sambil memejamkan mata dan merasakan embun perlahan masuk ke pori-pori kaki, memberikan rasa segar ke seluruh tubuh. Aroma daun-daun yang bertiup perlahan dari pohon kelapa, membuatku bisa tersenyum kembali. Terima kasih Tuhan untuk anugerahMu yang selalu menyelimuti desa yang selalu kucinta ini, bisikku pada keagungan yang selalu tercipta ketika pagi datang.

Selesai sholat shubuh, aku melihat Emak sudah menjerang air di dapur, membuat teh panas untuk kami berdua, pengganti sarapan sebelum kami pergi beraktifitas. Aku akan menemani Paimin merumput di lapangan bola yang terletak diujung desa. Ya, Paimin itu nama kambingku. Satu-satunya yang kami miliki saat ini dan peninggalan berharga dari Bapak. Bahkan dulu ketika Bapak membutuhkan biaya untuk berobat, Paimin tidak dijual. Mungkin Bapak sudah merasa akan meninggalkan aku dan Emak, sehingga Paimin dipersiapkan sebagai tabungan kami. Emak sudah siap dengan caping dan peralatan yang digunakan untuk bekerja di sawah. Semenjak Bapak meninggal, Emak memutuskan untuk bekerja di sawah, menjadi buruh dengan upah yang kecil, sama seperti yang dilakukan oleh Bapak dulu. Uang yang diterima mingguan seringkali tidak cukup untuk biaya hidup kami. Membeli makan sehari-hari, membayar uang sekolahku tiap bulan dan melunasi hutang dengan mencicil pinjaman yang dulu digunakan untuk biaya berobat Bapak di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap di kota saat sakitnya semakin parah.

“Masuk sekolah jam berapa hari ini?” tanya Emak ketika aku meminum teh hangat yang ada diatas meja kecil di dapur.

“Hari ini libur Mak,” jawabku singkat.

“Lho, ada apa kok libur? Bukan tanggalan merah kan?” Emak terus bertanya sambil melihat pada kalender usang yang menempel di dinding bambu, memastikan bahwa hari ini bukan hari libur nasional.

“Sekolah memang libur, Mak. Satu minggu. Persiapan untuk ujian nasional kelulusan,” ucapku menerangkan kepada Emak.

“Kok Emak tidak pernah melihatmu belajar? Bahkan akhir-akhir ini Emak lihat kamu sering termenung. Ada apa nduk?” Emak kembali bertanya sambil mengelus rambutku.

Aku terdiam. Lidahku seperti tidak mau berkompromi. Tak ada satu pun kata yang mampu keluar dari mulutku. Semuanya seperti terkunci di dalam. Tersangkut di tenggorokan.

“Tidak ada apa-apa, Mak. Ratih baik-baik saja kok. Ratih hanya takut tidak lulus dan tidak bisa masuk SMP karena nilai yang kecil,” akhirnya aku menjawab walaupun sedikit berbohong sambil tersenyum dan mengelus tangan Emak yang mulai keriput.

“Belajarlah nduk, hanya itu satu-satunya cara untuk bisa membuatmu lulus. Lalu berdoa kepada Allah. Minta kepadaNya untuk selalu memudahkan jalanmu agar bisa lulus SD dan masuk SMP. Untuk masalah uang, biar itu menjadi urusan Emak saja. Insya Allah akan selalu ada jalan jika kita mau berusaha. Kamu masih kecil. Jangan terlalu memikirkan yang berat-berat dulu. Tugasmu hanya belajar dan bermain bersama teman-temanmu sambil menemani Paimin di lapangan,” Emak berucap sambil kembali mengelus kepalaku.

“Iya, Mak, Ratih akan selalu belajar agar bisa membuktikan janji pada Bapak, bahwa suatu hari nanti, Ratih akan menjadi guru di desa kita dan mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak yang tidak mampu seperti Ratih,” aku menjawab seperti berucap janji pada diri sendiri sambil kupandang lekat mata emak yang tersenyum lega melihat kesungguhan yang terdengar dari ucapanku.

“Ya sudah, Emak berangkat dulu. Nanti jangan lupa kunci rumahnya ditaruh di tempat biasa ya,” aku mencium tangan Emak sebelum dia pergi ke sawah.

***

baca juga : cerita fabel lainnya

Aku baru selesai berucap salam di akhir salat ketika samar-samar melihat Bapak sedang duduk memandangiku dari sudut musholla.

“Bapak… Apakah Bapak yang di sana?!” tanyaku agak keras karena tidak percaya bahwa itu benar Bapak atau bukan. Bukankah orang yang sudah meninggal tidak akan bisa hidup lagi, aku bergumam.

“Iya Ratih, ini Bapak. Kemarilah Nak, Bapak kangen sekali padamu,” suara Bapak terdengar jelas.

Aku langsung berdiri dengan masih mengenakan mukena. Berjalan perlahan dan kemudian duduk berhadapan dengan Bapak. Wajahnya bersih, pipinya berisi, dan Bapak tidak sekurus dulu lagi. Bapak terlihat agak gemuk. Senyumnya juga sekarang terlihat berbeda. Seperti ada sinar yang mengelilingi Bapak sehingga membuat Bapak terlihat bahagia. Aku menghambur memeluk Bapak dan menangis tertahan. Terdengar pilu. Bapak memelukku erat, seolah ingin memberikan ketenangan. Menepuk punggungku perlahan.

“Bapak ke mana saja. Ratih sangat kangen pada Bapak,” aku bertanya diantara isak tangis sambil terus memeluk Bapak, seolah takut kehilangan.

“Bapak tidak kemana-mana. Bapak hanya pindah tempat saja. Tapi dari tempat Bapak sekarang, Bapak bisa melihat kamu lebih leluasa. Melihat kalau kamu sedang sedih. Itulah kenapa Bapak menemuimu dan ingin bertanya, apa yang membuat hatimu resah, nduk?” Bapak melepaskan pelukan dan menggenggam tanganku kuat sambil menatap mataku yang berair. Perlahan Bapak menghapus air mataku.

“Ratih takut pak… Ratih takut tidak bisa meraih cita- cita. Ratih takut mengecewakan Bapak dan Emak, tidak bisa sekolah karena tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah. Ratih ingin sekali bekerja membantu Emak di sawah agar dapat uang tambahan untuk biaya sekolah. Tapi Emak selalu melarang. Emak bilang, bahwa tugas Ratih adalah belajar dan bermain bersama Paimin dan teman- teman saja. Padahal Ratih kasihan kalau melihat Emak pulang dari sawah dan terlihat capek. Ratih sering menangis sendiri, Pak,” aku bercerita panjang lebar pada Bapak seolah ingin melepas rasa rindu.

“Emakmu benar nduk, kalian berdua punya tugas masing-masing. Emak bertugas mencari uang untuk biayamu sekolah dan hidup sehari-hari. Kamu punya tugas yang tidak kalah mulianya, yaitu belajar. Kamu tidak usah berpikir terlalu berat dengan kasihan pada emak. Dengan kamu belajar saja, itu sudah meringankan beban Emak. Tidak ada yang paling membahagiakan Emak dan Bapak selain melihat kamu mendapatkan nilai bagus disetiap kamu menerima rapor,” Bapak menjawab kegelisahanku.

“Dengar Bapak. Kita miskin. Satu-satunya cara agar kamu dan Emak terlepas dari kemiskinan adalah kamu bersekolah setinggi-tingginya. Pendidikan bisa menghapus kemiskinan yang ada, Ratih. Suatu saat nanti, kamu akan membuktikan ucapan Bapak ini. Dengan kamu bersekolah tinggi, kamu bisa meraih mimpimu menjadi guru dan punya sekolah sendiri. Dengan begitu, kamu bisa mewujudkan mimpi anak- anak yang tidak mampu seperti kamu nantinya dan melepaskan kemiskinan yang merenggut masa kecil mereka,” Bapak penuh semangat memberikan nasihat padaku.

Aku merenungi setiap perkataan Bapak. Banyak yang tidak aku mengerti saat ini. Mungkin benar kata Bapak, suatu hari nanti aku akan mengerti dan bisa membuktikan ucapan Bapak.

“Sekarang berjanjilah pada Bapak. Kamu harus bersekolah setinggi mungkin agar kamu bisa menjadi apa yang kamu impikan. Selalu ada jalan untuk mewujudkan impianmu, Ratih. Mungkin tidak mudah. Tapi yakinlah dengan langkahmu. Jangan lupa berdoa pada Allah agar dimudahkan jalan untuk meraih apa yang kamu citakan. Bapak hanya berpesan, jangan tinggalkan kejujuran. Karenapendidikan tanpa kejujuran seperti pisau yang tumpul. Tidak dapat berguna untuk orang lain. Bahkan mungkin suatu saat nanti dapat melukai kita sendiri,” Bapak meraih pundakku dan memeluk sambil kembali menepuk lembut punggungku. Mengelus kepala dan sesekali mencium rambutku.

“Iya pak, Ratih berjanji. Walaupun Ratih miskin, Ratih akan buktikan pada semua orang bahwa Ratih bisa mewujudkan cita-cita Ratih. Terima kasih, Pak. Sekarang Ratih sudah tidak sedih lagi dan semakin yakin untuk melanjutkan sekolah setinggi mungkin. Apapun akan Ratih lakukan dengan kejujuran asal Ratih bisa sekolah. Selalu ada jalan untuk Ratih,” aku berjanji dengan penuh keyakinan.

“Kalau kamu sedang sedih dan ingin bercerita pada Bapak, pandangilah langit. Kalau ada bintang yang bersinar terang, Bapak ada divsana. Bapak menjaga bintangmu yang bernama Ratih. Menjaga cita- citamu dan selalu mengingatkan bahwa kamu punya impian yang sangat mulia,” perlahan Bapak melepaskan pelukanku dan beranjak pergi.

***

baca juga : buku cerita

Tiba-tiba aku terbangun. Aku terdiam sesaat. Rupanya aku tadi tertidur di halaman rumah ketika aku rebah di rumput saat ingin memandang bintang di langit. Aku ingat, aku bertemu Bapak dalam mimpi. Aku tersenyum. Bahagia rasanya bisa memeluk Bapak. Nampak nyata, walaupun hanya mimpi.

Aku kembali memandangi langit dan menemukan ada satu bintang yang bersinar terang. Tanganku terjulur keatas, serasa ingin menggapainya. Bintang Ratih, dia selalu bersinar terang diantara bintang- bintang yang lain.

“Aku tahu Bapak ada di sana. Tolong jaga bintangku ya, Pak. Tolong jaga cita-citaku. Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh di sini. Suatu saat nanti aku akan mengambil bintang Ratih dan berharap bisa memberi terang yang sama di desa kita seperti dia selalu memberi sinar terang di langit,” aku berbisik dalam hati sambil tersenyum pada Bapak di atas sana.

Persembahan untuk seluruh anak Indonesia yang tidak pernah takut untuk bermimpi

Catatan:

Nduk : Panggilan dalam bahasa jawa untuk anak perempuan

Emak : Ibu dalam bahasa jawa Gedheg : Dinding yang terbuat dari anyaman bambu

Sumber : Indonesia Bercerita

Berdiri sejak 2017, Busa Pustaka hingga saat ini telah memberikan akses baca hingga ribuan anak di Provinsi Lampung. Berawal dari tak sampai sepuluh buku dan saat ini memiliki koleksi ribuan buku anak yang terus ingin ditambah demi memfasilitasi banyak anak membaca.

Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

Scroll to Top