PANDEGLANG, Cerita Rakyat adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki setiap bangsa. Jika digali dengan sungguh-sungguh, negeri kita sebenarnya berlimpah ruah cerita rakyat yang menarik. Bahkan sudah banyak yang menulis ulang dengan cara mereka masing-masing. Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Saat ini, cerita-cerita rakyat tidak hanya merupakan cerita yang dikisahkan secara lisan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi berikutnya, akan tetapi telah banyak dipublikasikan secara tertulis melalui berbagai media.
Berikut ini sebuah tulisan yang dibuat oleh D.Naufal Halwany didalam blognya , mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi referensi bagi generasi-generasi muda
Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon. Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang. Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini, bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’langsung antara dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun. Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang yang hijau ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan senjata masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di pinggangnya, Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan rambut gondrong sampai leher, mengenakan ikat kepala.
Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih dalam kandang anyaman bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam milik Pucuk Umun telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan dipasang keris berbisa pada kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasang senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat Al-Quran, termasuk Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala quata illa billahil aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.
Suasana di arena laga tampak menegangkan. Dari pihak Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya yang terdiri para ustad dan santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan keamanan. Mereka semua terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak Pucuk Umun, telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa Punggawa (Panglima) Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca jampi-jampi.
Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang Punggawa yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan maklumat:
“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun, perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut:
- Sebagaimana yang telah disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.
- Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.
- Kepada semua yang hadir, agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama pertandingan berlangsung.
Demikianlah maklumat kami sampaikan.”
Riuh rendah suara penonton mulai membahana tatkala dua ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Kedua jago itu bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua meter. Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak, menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap mata lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago. Karena, tampaknya, kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh lawan. Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang, mundur setengah meter, lalu dengan kekuatan penuh, bergerak maju menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin yang siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara dua jago yang sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.
Kedua jago itu saling terpental kearah belakang masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana Hasanuddin, dan malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan pertama. Mereka kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago Pucuk Umum menjadi beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang memerah. Apakah pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya saat hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar dan matanya merah. Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri menghindari keris berbisa jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya bersarang di rusuk kanan jago Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total, bahkan dia mendapat sebuah gebukan telak.
Jago Pucuk Umun tampak semakin kalap dan berniat melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat gelagat lawannya itu, jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia melompat ke angkasa. Jago Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua mata terfokus pada kedua jago yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak terhindarkan lagi, sebuah pertarungan sengit terjadi di udara, disaksikan gunung karang yang tegak kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di atas pepohonan hijau. Lalu tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga. Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah berlumuran darah. Para penonton, pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh sambil meneriakkan “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”
Demikianlah, akhirnya Maulana Hasanuddin memenangkan adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku kalah, melangkah mendekati Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan golok dan tombak miliknya sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas Banten, dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Sementara itu, pada hari itu juga, 800 ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin. Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara Islam di Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1 Muharram 933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang) ke daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang disebut Banten Lama.