Bumi dan Bulan

Oleh Kak Fadilla Dwianti Putri

Aku termenung di depan jendela, menatapi bulan sabit yang muncul malu-malu di balik awan. Hembusan angin malam menerpa wajahku dengan lembut. Hamparan padi yang terletak di belakang rumah mulai terlihat menguning meski di tengah gelapnya malam. Pepohonan berayun-ayun diterpa angin, seakan-akan mengajakku menari.

Aku menghela napas panjang, sibuk dengan pikiranku sendiri. Besok, aku harus pindah dari desa ini, meninggalkan semua pemandangan indah ini. Aku harus pindah ke tempat yang jauh sekali, kedua orangtuaku menyebutnya Jakarta. Aku sendiri tidak tahu di mana tepatnya Jakarta itu. Kata ibu, tempat itu berbeda jauh dengan desaku ini. Di sana tidak ada sawah, tidak ada sungai, dan tidak ada pohon jambu. Aku heran, lalu di mana bisa aku bermain kalau suasananya seperti itu? Tapi, kata ibu, Jakarta adalah tempat yang lebih menyenangkan dari desaku ini. Ah, aku tidak percaya. Yang aku tahu 96 desaku ini adalah tempat paling menyenangkan yang pernah kutemui.

Aku membayangkan betapa sedihnya harus meninggalkan semua ini. Bermain dengan teman[1]teman di sungai, berjalan kaki ke sekolah melewati sawah, bahkan kalau lagi sial bisa tercebur ke dalamnya. Meskipun menggunakan baju yang berlumuran lumpur ke sekolah dan ditertawai teman-teman, semua itu sungguh menyenangkan. Menurutku tak ada yang lebih indah dari tetap tinggal di sini. Ah, sungguh aku tak ingin pergi… Tak terasa aku membayangkan itu semua hingga tertidur lelap.

Hari pertama di sekolah baru.

Aku gugup sekali dan bisa merasakan jantungku yang berdebar lebih cepat. Tak ada satupun yang aku kenal di sini, dan mereka juga sepertinya tidak peduli dengan kehadiranku. Jadi, di sinilah aku sekarang berada, duduk di depan kelas baru, kelas 5-B, sambil menunggu waktu masuk. Aku malu untuk masuk duluan ke kelas, jadi aku menunggu hingga bu guru datang. Seingatku namanya Ibu Guru Dwi.

Nah, itu dia. Aku melihat ia melangkahkan kaki menuju ke sini. Bu Guru datang tepat saat lonceng dibunyikan. Hebat ya? Sekolahku yang dulu, di 97 kampung, mana ada lonceng seperti ini. Ada juga jam masuk ditandai oleh teriakan khas Bu Guru Isti, “Ayo anak-anaaaaak, masuuuk!!”

Setelah menghampiriku yang terduduk diam depan kelas, Bu Guru Dwi mengajak aku untuk masuk ke dalam kelas. Dan di sinilah kini aku berdiri, di depan kelas 5-B dengan sedikit takjub. Bagus sekali kelasnya, aku tak mampu menyembunyikan ketakjubanku. Papan tulisnya saja warnanya putih begitu. Sekolahku di kampung papan tulisnya warna hitam, terus nulisnya juga pakai kapur, membuat siapapun bisa batuk-batuk kalau duduk di barisan depan. Ada lagi meja dan bangkunya yang juga berwarna putih dan tanpa coretan sama sekali. Sekolahku dulu di kampung? Bangku dan mejanya terbuat dari kayu dan berwarna cokelat, sudah gitu reyot lagi! Oh ya, satu lagi. Di sini lantainya terbuat dari ubin, hebat banget deh pokoknya. Kalau di sekolahku dulu ya paling juga pakai tanah liat.

Saking takjubnya, aku gak sadar kalau Ibu Guru Dwi memerintahkan aku untuk memperkenalkan diri. Dengan sedikit gugup, aku pun mulai membuka mulut.

“Selamat pagi, teman-teman..” aku memulai. Aku bisa merasakan seisi kelas memerhatikan. “Kenalkan, namaku Komariyah, aku dari…” 98 “Hahahaha! Namanya kampungan banget!” Belum selesai memperkenalkan diri, salah seorang anak laki-laki dari belakang menyeletuk. Ia menunjuk wajahku dengan geli. Seketika anak-anak seisi kelas pun tertawa dan memanggilku kampungan. Aku bisa merasakan wajahku panas karena malu. Apa katanya, kampungan? Aku tahu aku memang berasal dari kampung, tapi apakah iya bahwa aku ini kampungan? Aku bertanya sendiri dalam hati.

“Sudah, sudah, semuanya diam!” Bu Guru menegur seisi kelas yang langsung terdiam. “Ardi! Jangan bicara seperti itu!” lanjutnya kepada anak nakal yang ternyata bernama Ardi itu. Wajah Bu Guru tampak sedikit kesal dengan tingkahnya yang membuat gaduh kelas.

“Nah, anak-anak. Komariyah ini adalah teman baru kalian. Komariyah, dulu kamu bersekolah di mana?” Bu Guru melanjutkan perkenalan kepada teman[1]teman kemudian bertanya padaku.

“Di SD Bantar I Bu, di sebuah desa di selatan pulau Jawa,” jawabku jujur. Aku bisa merasakan anak-anak seisi kelas memerhatikanku dengan pandangan aneh dan menahan tawa, tetapi secara diam-diam, takut dimarahi lagi. Aku masih bertanya-tanya apa yang salah dari dalam diriku. Tanpa sadar, mataku mulai berkaca-kaca. Di hari pertama sekolah ini aku malah mendapat kesan yang buruk, ditertawakan dan 99 dianggap aneh oleh teman-teman yang akan menjadi teman sekelasku. Bagaimana dengan hari[1]hariku selanjutnya? Tuhan, aku rindu kampung halamanku..

Tepat pukul 12 lonceng sekolah berbunyi lagi, menandakan bahwa jam pelajaran hari ini telah berakhir. Tanpa basa-basi, dengan cepat aku segera melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah dan menyetop angkot. Toh dengan atau tidak kehadiranku, teman-teman baruku itu takkan peduli. Aku benar-benar kesal dengan kelakuan mereka yang menyebalkannya minta ampun. Yang ingin kulakukan saat ini hanyalah pulang ke rumah dan mengadu pada ibu.

Untung jarak dari sekolah ke rumah tidak terlalu jauh, jadi ibu tidak perlu repot-repot menjemputku. Lagipula, kalaupun iya, aku pasti akan ditertawakan lagi. Mungkin begini bunyinya; “Ih, udah kelas 5 SD masa masih dijemput mama!” Apalagi sama anak yang bernama Ardi itu, uuuh! Aku menggeram dalam hati.

Jakarta pada siang hari seperti ini sangatlah terik. Apalagi angkot yang kutumpangi penuh sesak, membuatku sulit untuk bernapas. Aku jadi teringat desaku yang dulu. Di sana tidak ada yang namanya 100 kemacetan, kebisingan, dan polusi seperti ini. Di sana yang ada hanya pepohonan yang rindang, sungai yang mengalir jernih, dan rumput-rumput yang indah diterpa angin. Baru sehari di sini saja sudah membuatku rindu suasana seperti itu.

Lagipula, anak-anak SD di sini semuanya menyebalkan. Lihat saja contohnya si Ardi, teman sekelasku yang gembrot itu. Masih kelas 5 saja sudah belagu, bagaimana kalau sudah besar nanti? Lalu mereka juga sepertinya sudah terbiasa dengan kebiasaan saling pamer satu sama lain. Punya barang baru saja, sebentar-sebentar pamer. Tadi salah satu dari mereka bercerita dengan bangga kalau dia baru dibelikan b… blek, blekberi atau apa gitu oleh orang tuanya. Aku juga tidak tahu itu apa, apa itu sejenis mainan seperti congklak kali ya? Selain itu, saat jam istirahat tadi, mereka bukannya main petak umpet atau petak jongkong, mereka malah pegang HP dan langsung main… Apa ya namanya? Sependengaranku sih terdengar seperti ‘pesbuk’ atau apalah itu namanya. Kata-kata tersebut begitu asing di telingaku dan sulit untuk diucapkan. Aku jadi penasaran, kenapa mainan anak kota semuanya aneh-aneh.

Entah sudah berapa lama aku melamun, tiba-tiba aku tersadar bahwa aku sudah berada di depan gang tempat rumah baruku berada. Rumah bercat dan berpagar putih yang sangat sederhana yang terletak di antara gang sempit.

Saat hendak menyebrang jalan bersama dengan seorang anak kecil yang tadi turun berbarengan denganku, tiba-tiba sebuah kendaraan umum melaju dengan kencang dari arah berlawanan. Dengan spontan aku langsung berteriak, “AWAASS!!” dan segera menariknya ke pinggir jalan. Untungnya, aku bisa dengan cepat menghindar dan menarik anak kecil tersebut ke pinggir jalan. Walaupun sedikit lecet dan kaget karena kejadian tadi, anak kecil yang kira-kira baru berusia 6 tahun itu berterima kasih kepadaku.

“Adik sendiri aja?” tanyaku padanya yang masih membersihkan tubuhnya dari pasir dan debu. Kedua lututnya lecet akibat goresan dari pasir, mengalirkan darah segar.

“Iya Kak, aku sudah biasa pulang pergi sendiri. Sekali lagi, makasih ya, Kak!” katanya dengan wajah berbinar, sama sekali tidak memperlihatkan wajah kesakitan.

“Benar kamu nggak apa-apa?” tanyaku sekali lagi dengan wajah khawatir. Aku sendiri masih merasa kaget karena semua itu terjadi begitu tiba-tiba. “Rumah kamu di mana? Bisa jalan nggak? Atau mau Kakak obati dulu?”

“Bener deh Kak, aku baik-baik saja. Lagipula, rumah aku sudah di depan mata, tuh!” Tunjuknya dengan dagu. Ooh, ternyata rumah gedong yang terletak di sebelah gang rumahku adalah rumah anak ini, pikirku.

“Ngomong-ngomong, nama Kakak siapa?” tanya anak kecil itu lagi, membuatku sedikit terkejut.

“Kenapa tiba-tiba nanya nama?”

“Kata Mama, kalau ada orang baik yang nolongin kita, kita harus tahu namanya biar bisa mengucapkan terima kasih!” jawabnya dengan polos dan lucu.

“Nama Kakak Komariyah,” jawabku sambil tersenyum memerhatikan tingkahnya yang lucu.

“Ooh Kak Komariyah. Makasih ya Kak bantuannya, Kak Komariyah emang penyelamatku!” katanya menutup perjumpaan kami hari itu. Ia segera membuka pintu gerbang rumahnya, dan aku memasuki gang yang terletak persis di sebelahnya.

Keesokan harinya, aku mendapatkan sebuah kejutan di sekolah. Saat aku akan memasuki kelas, Ardi menghalangi jalanku untuk masuk. Aku pikir ia akan menggangguku lagi, tapi ternyata aku salah. Justru yang keluar dari mulutnya lumayan membuatku kaget.

“Maaf,” tuturnya sambil menunduk di hadapanku.

 Tidak mengerti apa yang terjadi, aku hanya mendiamkannya dan tidak menggubrisnya. Aku malah meninggalkannya dan menuju bangku tempat dudukku.

“Komariyah, aku bilang aku minta maaf,” katanya lagi sambil menghampiriku dengan wajah yang ditekuk dan sangat menyesal.

“Untuk apa?” aku bertanya dengan malas, mengingat perbuatan dan perkataannya kemarin yang sangat membuatku malu dan benci dengan sekolah ini.

“Untuk semuanya,” katanya lirih. “Aku merasa jahat banget sama kamu, Komar. Setelah apa yang telah aku lakukan kemarin sama kamu, ternyata kamu malah menyelamatkan adikku…”

“Apa?” aku bertanya, tidak mengerti.

“Ya, anak kecil yang kamu tolong kemarin itu adikku. Seharusnya kemarin ia pulang bareng aku, tapi karena aku pergi ke warnet, aku jadi meninggalkan dia. Maafkan aku, Komar, maaf…” katanya lagi dengan sangat menyesal sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.

Aku mengangguk tanda mengerti. Ternyata anak kecil yang kemarin aku tolong adalah adiknya Ardi, aku bergumam dalam hati. Hmm, mungkin memang sudah seperti ini jalannya. Mungkin kejadian kemarin adalah hikmah bagiku, bisa membuat aku melihat sisi lain dari Ardi. Mungkin juga dengan kejadian kemarin aku bisa belajar bahwa Ardi tidak seburuk yang aku kira. Mungkin… Melihat ketulusan yang ada dalam suaranya, aku menjadi tidak tega. Akhirnya aku menjabat tangan Ardi dan berkata, “Iya, aku memaafkanmu kok.”

Setelah aku mengucapkan kata tersebut, wajahnya langsung sumringah dan tersenyum padaku. Akhirnya, aku bisa memiliki teman pertama di sini. Padahal, Ardi adalah teman pertama yang paling aku benci, tapi sekarang aku bersyukur memiliki teman yang berjiwa besar seperti dia, tidak malu untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf

“Oh iya!” katanya tiba-tiba, membuatku terkejut.

“Ada apa?” tanyaku.

“Kemarin ‘kan aku mengejekmu soal namamu, Komar… Ternyata aku salah. Setelah aku baca kemarin, ternyata Komariyah itu artinya sangat indah, yaitu bulan. Maafkan aku ya, Komar.” “Ah, tidak apa-apa. Lupakan saja kejadian kemarin. ‘Kan yang penting sekarang kita sudah baikan,” jawabku

“Dan kamu tahu gak Ardi itu artinya apa?” tanyanya padaku. Aku menggeleng tanda tak tahu. Ia pun melanjutkan, “Ardi itu artinya bumi, Mar. Kita ini pas banget ya. Ardi dan Komar. Bumi dan bulan. Pas banget kan, kayak bumi dan bulan yang saling melengkapi. Jangan-jangan kita jodoh deh, hehehe.”

“Aaaahhh Ardi, apa-apaan sih! Masa masih SD sudah main cinta-cintaan!”

Penerbit : Indonesia Bercerita

Berdiri sejak 2017, Busa Pustaka hingga saat ini telah memberikan akses baca hingga ribuan anak di Provinsi Lampung. Berawal dari tak sampai sepuluh buku dan saat ini memiliki koleksi ribuan buku anak yang terus ingin ditambah demi memfasilitasi banyak anak membaca.

Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

Scroll to Top