Oleh Kak Dini Kaeka Sari
Terbuka mataku, kosong di sebelahku. Lekas aku melompat turun dari ranjang, jangan-jangan sudah ditinggalkannya aku pergi, sepi. Di luar kamar, rumah sudah begitu bersih, terburu[1]buru aku lari ke mushollah, sudah rapi, kosong. Segera aku lari ke dapur, kulihat makanan sudah tersaji lengkap di meja, nasi, sayur dan lauk, juga segelas susu coklat kesukaanku dan segelas teh pekat favoritnya mengepul-ngepul.
Setiap pagi selalu sama. Berlari-lari aku ke sana kemari mencarinya. Aku kehilangan. “Bundaaa…?!” Kali ini kugedor pintu kamar mandi. “Bundaaa…?!” Kosong. Kembali aku ke dapur, kompor, panci-panci dan piring-piring sudah rapi, bersih. Aku hampir saja terisak, tapi kutahan.
Aku teringat ruang kerja Bunda, pagi-pagi biasanya sudah online sambil memutar mesin cuci dan memasak nasi. “Tapi ini jam berapa?” batinku. Mesin cuci sudah kosong, nasi sudah tertata rapi di meja. Masuk ke ruang kerjanya, kuterobos saja, tak sabar. “Bundaaa…?!” Tak ada juga di sana. Laptopnya pun terbuka seperti biasa, tapi tak nyala, kursinya pun dingin. “Bundaaa…?!” Panggilku sekarang lirih.
Aku merasa kehilangan. Wajahku panas, dadaku berdetak-detak kencang ketakutan. Aku ingat satu tempat. Serta merta dengan energi penuh aku melesat ke sana. Pintu tertutup, tapi aku sudah lebih tinggi sekarang dan tanganku kuat memutar kunci. Kuputar kuncinya. Tak bisa. Kuputar lagi, tetap tak bisa. Hampir putus asa aku memutarnya lalu dengan tak sabar kuhentakkan saja gagang pintunya. ”Ceklik!!”
Oh, terbuka, mudah. Langsung saja aku menghambur keluar. Silau matahari dan langit yang begitu biru jernih. ”Bundaaa…?!” panggilku sambil tersenyum lega. ”Ya nak…” sahutnya balas tersenyum, menoleh padaku dan tangannya yang penuh tak henti menggantung jemuran. Seketika keberanianku memuncak, kekuatanku kembali menggelegak. Hatiku girang lega. ”Bunda, aku sudah berani tidur sendirian, ya, tanpa Bunda?!” Indahnya senyum Bunda di jemuran pagi ini. “Ya nak, kamu hebat!” “Bundaaa… Gendong…”
Penerbit : Indonesia Bercerita